|
|
|
Tidak jarang
bahwasanya
dalam berkehidupan bermasyarakat, terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan yang mengakibatkan kerugian terhadap diri sendiri
ataupun orang lain. Kemungkinan kerugian- kerugian ini
disebabkan oleh pelanggaran- pelanggaran hukum atau tidak
tahunya seseorang akan hak- hak dan kewajibannya sebagai
seorang warga negara. Lebih parahnya, setelah menjadi seorang
korban pelanggaran hukum, kemudian, tertipu pula oleh
pengacaranya dalam soal biaya. Sudah jatuh, malah tertimpa
tangga.
Maka dari itu,
hernapardedelawyer.cjb.net memberikan beberapa tips dalam
membuat keputusan untuk berurusan dengan para penegak hukum
dan pengacara. Website ini adalah hanya sebagai sebuah wadah
sumbangan jasa kepada masyarakat umum Indonesia. Hal ini
bertujuan untuk menyadarkan masyarakat akan hak-hak dan
kewajibannya sebagai warga negara yang akhirnya dapat menuntut
integritas para pengacara dan para penegak hukum di negara
tercinta ini.
Sebagai contoh
kasus, banyak warga buta akan hukum- hukum yang berlangsung di
Indonesia; pelanggaran lalu lintas, perkosaan, pelecehan
seksual, penipuan, pelanggaran hak cipta hanyalah dikira
sebuah kejadian normal sehari-hari yang dapat terjadi kepada
siapa saja. Padahal, seseorang yang menderita kerugian akibat
pelanggaran- pelanggaran hukum seperti diatas dapat menuntut
hak-haknya karena dijamin oleh negara lewat hukum. Apabila
kasus- kasus ini tidak ditanggani secara baik oleh semua pihak,
(termasuk korban, polisi, penyidik, penuntut umum, para
panitera, hakim, dan sebagainya), hukum di negara ini tidak
akan bertumbuh sesuai dengan perkembangan zaman, dan dapat
mengakibatkan berkembangnya hukum rimba.
Kedua, mahalnya
biaya konsultasi dapat juga membuat penegakan hukum
terabaikan. Belum lagi banyak pengacara menjadikan hukum
sebagai komoditas politik,
untuk kepentingan
kekuasaan, kepentingan uang yang pada akhirnya hukum itu
sendiri diperjual- belikan.
Jumpa pers
dijadikan ajang pembelaan klien2 mereka, dengan berbagai dalil,
fakta dan bukti- bukti dikemas dengan bahasa dan istilah hukum
yang pelik dan rumit dalam rangka membangun sebuah alibi bahwa
klien mereka tidak bersalah. Dan lazim, tersiar berita sukses
pengacara2 yang terkenal karena kegigihan2 mereka ini seperti
bagaimana mereka dapat meraih milyaran rupiah dari honor atas
memenangkan suatu perkara, mempunyai koleksi rumah, mobil
mewah, dll yang menyebabkan pandangan dalam masyarakat kita
bahwa pembelaan untuk sebuah suatu kebenaran adalah suatu yang
mahal, mewah dan sulit dijangkau masyarakat awam.
Maka dari itu,
beberapa halaman rangkuman yang diberikan di dalam website ini
dibuat untuk masyarakat yang bermasalah dengan hukum dan ingin
mengetahui prosedur hukum yang berlaku di Indonesia secara
umum.
Herna Jacqueline Pardede Konsultan Hukum
|
|
I.I RENUNGAN KATA
PENGANTAR
|
|
DIMANA SAJA
DI DUNIA sejak dulu selalu ada ambivalensi terhadap profesi
advokat. Di satu pihak advokat dianggap orang yang suka
mempermainkan hukum dan bikin perkara, karena litigasi salah
satu pekerjaannya. Di lain pihak, siapa lagi yang bisa membela
atau menolong orang awam yang sedang berurusan dengan negara
atau bertentangan dengan warga lain? Tapi seperti lain
profesi, atau lain kalangan apapun, tentu saja ada advokat
yang baik dan yang kurang atau malah buruk. Bukan itu yang
penting atau perlu dipikirkan dalam dunia yang serba kurang
sempurna ini Yang menarik tentang profesi advokat dan perlu
diperhatikan adalah peranannya sebagai spesialis dalam
hubungan antara warga negara dan lembaga-lembaga pemerintah,
antara masyarakat dan negara. Dalam negara modern, tanpa orang
yang mengisi fungsi itu secara profesional, masyarakat lebih
gampang lagi dipermainkan, diperas, dan ditindas oleh yang
berkuasa.
Malah dapat dikatakan, bahwa dalam negara pra-modern
ada semacam pengakuan atas keperluan spesialis hukum swasta
yang bisa membantu orang yang terpaksa menghadapi penguasa
negara atau lain warga. Di Yunani dulu, umpamanya advokat
dilarang, tapi setiap orang yang berperkara diizinkan cari
bantuan seorang dari keluarga atau kalangan teman yang tahu
sedikit tentang proses hukum, yang dengan sendirinya
berevolusi menjadi semacam profesi advokat. Atau di Indonesia
dulu pada zaman kolonial, tidak ada advokat profesional
berbangsa Indonesia sampai 1920-an, tapi pada abad ke-19
muncul pokrol bambu, yang kemungkinan besar sudah ada
sejenisnya sebelum kedatangan Belanda. Dengan satu atau lain
bentuk, keberadaan advokat tidak dapat dielakkan. Dari sudut
lain dapat dikatakan bahwa dalam setiap masyarakat, profesi
advokat merupakan salah satu unsur sine qua non untuk
menjamin keseimbangan sedikit antara lembaga-lembaga negara
dan warga negara biasa.
Berbeda
dari profesi lain, hampir di mana saja para advokat, sebagai
profesi, terbeban fungsi yang bercampur aduk. Ada advokat
tentunya yang hanya mengurus kontrak di samping notaris, atau
spesialis dalam perkara pidana dan sebagainya. Tetapi profesi
advokat sering menjadi sumber macam-macam pelayanan istimewa
yang diperlukan dalam masyarakat. Umpamanya, justru karena
profesi advokat mengerti struktur, lembaga, dan aturan negara
dan bertugas untuk mewakili warga negara kalau bertentangan
dengan negara atau warga negara lain, banyak advokat biasa
saja, dengan sendirinya, muncul dalam politik, urusan sosial,
pendidikan, perjuangan perubahan politik, ekonomi, atau
sosial, dan sering masuk sebagai pimpinan gerakan reformasi.
Bukan hanya advokat tentunya, tapi profesi itu menonjol dalam
sejarah negara modern sebagai sumber ide dan pejuang
modernisasi, keadilan, hak asasi manusia, konstitusionalisme,
dan banyak lagi. (Dan tentu saja dalam pimpinan anti
perubahan, anti-reformasi, dan seterusnya juga.)
Begitu juga di Indonesia, di mana sejarah profesi advokat
sangat menarik dan mengesankan.
Coba pikirkan kualitas dan sumbangan para
advokat yang menjadi pemimpin politik dan sosial sejak 1923,
waktu advokat Indonesia pertama, Mr Besar Martokoesoemo,
membuka kantornya di Tegal Selain Pak Besar sendiri, ada
Sartono, Ali Sastroamidjojo, Wilopo, Muh Roem, Ko Tjay Sing,
Muh Yamin, Iskaq Tjokrohadisuryo, Lukman Wiriadinata, Suardi
Tasrif, Ani Abbas Manoppo, Yap Thiam Hien, dan Iain-lain dari
generasi itu yang aktif sebelum dan sesudah kemerdekaaan
sampai 1960-an dan beberapa di antaranya sampai 1980-an. Dan
ada penerus mereka itu yang masih aktif sekarang. Dari
generasi tertua advokat Indonesia ada banyak (mungkin sampai
kebanyakan) yang turut aktif dalam gerakan kemerdekaan,
menjadi pemimpin partai, memperjuangkan negara hukum dan hak
asasi manusia, serta sering mengorbankan din untuk membela
prinsip. Pemerintahan parlementer di Indonesia yang bisa tahan
hanya tujuh tahun, 1950 sampai permulaan 1957 (dan yang perlu
dipelajari kembali karena sejarahnya dikelabukan sejak 1960)
untuk sebagian merupakan dptaan para advokat Pada zaman itu,
walau ada kesulitan yang luar biasa sesudah revolusi,
kemampuan dan integritas peradilan—termasuk pengadilan,
kejaksaan, polisi—cukup baik dan dapat dipercaya.
Proses hukum terjamin efektif, antara lain
karena ada pemimpin dalam hampir semua partai besar yang
berasal dari kalangan advokat dan merasa terikat pada
prinsip-prinsip hukum. Zaman itu tidak gampang tentunya, tapi
kalau dibandingkan dengan zaman Demokrasi Terpimpin dan Orde
Baru, era parlementer masih lebih unggul dari sudut
pertanggungjawaban pimpinan politik, efektivitas
lembaga-lembaga hukum, dan keamanan masyarakat. Sumbangan para
advokat, walaupun sedikit sekali jumlahnya pada waktu itu,
perlu dihormati. Sebagian dari sejarahnya dapat dibaca dalam
buku
ini.
Hanya saja, akibatnya ombang-ambing politik, sebagai profesi
para advokat Indonesia mengalami perubahan yang membingungkan.
Kalau mereka biasa aktif dalam politik pada zaman parlementer,
dan dihormati oleh hakim dan jaksa sebagai unsur biasa dalam
sistem peradilan. Pada zaman Demokrasi Terpimpin sebaliknya.
Mereka mulai dijauhkan dari lembaga formal, diisolasikan
sebagai unsur swasta, dan sering diperlakukan seperti musuh
oleh hakim dan jaksa. Profesi mulai stagnan, jumlahnya sampai
1966 tidak lebih dari 200-250 orang di seluruh negara. Pada
zaman itu juga mulai ada advokat yang merasa terpaksa (atau
dengan senang hati) menyesuaikan diri pada arus korupsinya
mafia peradilan yang mulai merajalela di lembaga peradilan.
Yang menarik bukan bahwa advokat ikut mafia, melainkan bahwa
ada banyak advokat yang menolak dan ambil risiko mengkritik
terus korupsi dan ketidakadilan di pengadilan, kejaksaan,
polisi, dan pemerintah Demokrasi Terpimpin. (Sekarang ada yang
mengira bahwa korupsi di pengadilan mulai dengan advokat, tapi
justru sebaliknya yang terjadi. Korupsi peradilan mulai
menonjol pada permulaan 1960-an di kantor-kantor kejaksaan,
dari situ ke pengadilan, dan pada akhirnya meluas pada advokat
yang sulit membela kliennya terkecuali ikut main menurut
prinsip baru itu). Baru pada 1963 beberapa advokat senior
berkumpul untuk mendirikan asosiasi advokat nasional yang
pertama, Peradin, yang pantas dicatat dalam sejarah institusi
hukum Indonesia.
Sampai permulaan zaman Orde Baru profesi advokat tetap kecil
dan tetap berbentuk seperti pada zaman kolonial. Lantas mulai
berubah secara cepat sekali sebagai aMbat pertumbuhan ekonomi
yang mulai pada akhir 1960-an. Dalam waktu dua dasawarsa,
lebih kurang 250 advokat itu menjadi ribuan dengan
kompleksitas yang sama sekali baru dan menyulitkan. Umpamanya
saja, perbedaan yang menyolok muncul antara advokat yang
berperkara dan konsultan hukum yang mengurus keperluan
perdagangan dan investasi serta jarang atau tidak pernah masuk
pengadilan. Antara kedua macam lawyerita timbul
ketegangan sampai sekarang, yang berakar pada perbedaan
pengalaman, klien, cara kerja, pandangan, dan singkatnya,
konsepsi profesinya. Ada advokat gaya lama yang tidak bisa
menerima konsultan sebagai advokat, dan konsultan yang tidak
merasakan hubungan dengan profesi lama
itu.
Sebetulnya perubahan itu, lengkap dengan ketegangan tentunya,
biasa saja dan sehat dalam suatu profesi yang mulai
beradaptasi pada keadaan ekonomi baru dengan cara bertumbuh,
berkembang, dan berspesialisasi. Terlihat juga proses itu di
Malaysia, MuangThai, Korea, India, Mesir, dan dulu Inggris,
Perancis, Amerika Serikat, Jepang, dan banyak negara lain.
Yang agak berbeda di Indonesia, para Layers itu sebagai
profesi tidak makin berpengaruh melainkan makin lemah. Tidak
terlalu sulit untuk mengerti sebab dan akibatoya. Pada
dasarnya, pemerintahan Orde Baru (dan Demokrasi Terpimpin
sebelumnya) tidak berdasarkan hukum, yang berarti bahwa proses
hukum tidak menentukan dan institusi hukum tidak banyak
diperhatikan (atau dipedulikan) oleh elit politik dan instansi
pemerintah. Pada akhirnya, landasan politik yang paling
menentukan (dan paling tidak aman balk untuk rakyat maupun
untuk pimpinan politik sendiri) adalah kekuatan senjata dan
paksaan. Dalam keadaan itu para hakim, jaksa, dan polisi,
seperti pegawai negeri pada umumnya, ikut arus dan pakai
kesempatan untuk memperkayakan diri atau, kalau kurang
berselera dan berkeberatan, tidak ikut tapi tutup mulut.
Antara banyak advokat tendensinya sama, ikut mafia apakah
dengan senang hati atau perasaan malu dan jengkel, atau
menjauhkan diri daripengadilan. Seperti pernah dikatakan
Satjipto Rahardjo, banyak advokat kehilangan idealisme, merasa
cukup puas dengan kesempatan, dan tidak banyak memikirkan
keadaan negara atau keadaan masyarakat atau nasib profesinya
sendiri. Banyak pengacara tidak ambil pusing mendaftarkan diri
sebagai advokat di Departemen Kehakiman, karena pendaftaran
itu bisa mahal dan tidak bermanfaat, dan pada akhirnya gelar
advokat itu hanya berbobot sedikit gengsi
saja.
Suasana itu sama sekali tidak subur buat
organisasi advokat, baik karena lembaga-lembaga hukum negara
tidak simpatik maupun karena terlalu banyak advokat sendiri
tidak begitu peduli pada keadvokatan sebagai profesi.
Yang makin membanggakan bukan pekerjaan
melainkan pendapatan. Eksepsi yang tidak sedikit terdiri atas
kalangan advokat tua dan pengikutnya dalam Peradin. Peradin
jalan terus atas dasar program yang prinsipil, dalam keadaan
dan suasana yang kurang mendukung, dan memperjuangkan terus
ide-ide dan konsep yang tidak pernah bisa disetujui pimpinan
Orde Baru dan dianggap oleh pimpinan itu sebagai tantangan
yang tidak enak. Perlu ditanyakan apa sebabnya, justru
advokat, bukan hakim dan jaksa atau pegawai lain, yang
bertanding dengan pemerintah Orde Baru. Untuk sebagian,
jawaban jelas, yaitu advokat itu bukan pegawai, tidak terikat,
swasta pokoknya, yang berarti berkebebasan dan berkeleluasaan
agak
lebar. Tapi selain ihi, Peradin waktu itu
dipimpin advokat senior yang masih ingat keadaan dan harapan
proses hukum pada 1950-an, dan sebagai teman karib seprofesi
masih merasa terikat pada idealitas dan etika hukum yang
dipelajari di fakultas hukum di Jakarta atau di Leiden dulu.
Yang lebih kompleks lagi, dan sukar dimengerti dalam suasana
zaman Orde Bam, mereka itu masih nasionalis betul dalam atti
merasa bertanggung jawab untuk memperbaiki keadaan negara dan
masyarakat serta kurang berorientasi pada kepentingan sempit
did sendiri.
Pimpinan Peradin termasuk orang seperti Lukman
Wiriadinata, Yap Thiam Hien, Suardi Tasrif, Zainal Abidin,
Soemarno P Wirjanto dan Iain-lain dari generasi tua itu.
Dari ribuan advokat (termasuk konsultan) dan
pengacara yang buka kantor pada 1970-an dan 1980-an, Peradin
tidak pernah menarik anggota lebih dari 800. Tetapi
organisasinya rapi. Ada daftar anggota dan anggotanya bayar
iuran. Pada akhir 1960-an sampai 1980 mulai ada jurnalnya,
Majalah Hukum dan Keadilan, yang masih menarik dan berguna
untuk
dipelajari.
Para advokat yang berkumpul dalam Peradin itu tidak hanya
berperan sebagai advokat dalam arti sempit, di pengadilan,
tetapi juga sebagai pejuang reformasi, negara hukum, dan hak
asasi manusia. Lembaga Bantuan Hukum, yang didirikan pada 1970
oleh Adnan Buyung Nasution, disponsori dan didukung Peradin.
LBH mencerminkan prinsip dan pandangan banyak anggotanya.
Antara pengacara muda yang pernah ikut LBH, ada yang tetap
aktif sekarang sebagai advokat yang mendesak terus menuju
negara hukum yang adil. Ada juga yang sekarang sudah menjadi
Hakim Agung, yang efeknya masih terbatas tapi penting sebagai
tanda perubahan. Pada 1977 Peradin menyatakan diri sebagai
organisasi perjuangan yang berdedikasi pada pemulihan negara
hukum, suatu komitmen nyata pada reformasi. Salah satu akibat
aktivisme Peradin adalah keretakan: banyak anggota tidak
setuju dengan pandangan pimpinan yang dianggap terlalu siap
untuk kecam pemerintah pada setiap saat. Sebagian dari anggota
Peradin akhirnya
keluar.
Akibat lain adalah reaksi pemerintah yang makin jengkel
terhadap keributan Peradin, apalagi karena hakim, jaksa, dan
polisi mendesak supaya advokat yang galak mengenai korupsi dan
pelanggaran prinsip-prinsip keadilan mulai diawasi. Kecaman
Peradin terhadap korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan dibalas
rezim Orde Baru pada permulaan 1980-an. Waktu itu pemerintah
hendak meleburkan Peradin dan lain asosiasi pengacara ke dalam
satu organisasi advokat baru—yaitu Ikadin—yang dapat
dikendalikan yang berkuasa. Tetapi pada akhirnya usaha yang
dipimpin Menteri Kehakiman Ismail Saleh itu gagal, sebagian
besar karena para advokat (bukan hanya di Indonesia) agak
sukar dikontrol siapapun.
Lama kelamaan Peradin tutup usia, suatu pukulan berat pada
perjuangan negara hukum. Tapi tidak diganti satu organisasi
besar di bawah pengaruh pemerintah. Malah muncul empat atau
lima asosiasi yang sulit sekali diarahkan oleh tangan negara.
Akan tetapi ternyata juga bahwa profesi advokat tidak mampu
mengendalikan diri sendiri. Antara semua asosiasi advokat yang
didirikan sejak 1980-an, tidak ada satu pun yang menikmati
organisasi yang ketat, yang punyaadministrasi betul, yang
menarik iuran anggota secara teratur, yang menerbitkan majalah
(Ikadin dulu pernah menerbitkan hanya satu edisi saja
jurnalnya, lantas tidak lagi), yang mampu melaksanakan kode
etik, dan yang cukup berpengaruh dalam gerakan reformasi.
Sejak Pefadin hilang, profesi advokat di Indonesia terbagi
dalam beberapa organisasi yang mirip klub sosial, terbukti
hampir
impoten.
Justru dalam hubungan dengan reformasi—reformasi hukum,
politik, kelembagaan negara, dan lain lagi—kelemahan profesi
advokat ini merupakan luka berat. Tidak dapat disangkal bahwa
sistem peradilan dan proses hukum di Indonesia rusak sesudah
empat puluh tahun Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru. Tidak ada
satu lembaga pemerintah yang dapat dikatakan sehat dan
dipercayai masyarakat. Penciptaan kembali lembaga-lembaga
hukum (dan politik) yang bisa diterima warga-negara Indonesia
sebagai sumber keadilan akan makan waktu, dan hanya mungkin
kalau diakui bahwa seluruh kelembagaan hukum perlu disembuhkan
atau malah diciptakan kembali dan didukung oleh elit politik
yang juga diperbaharui.
Dalam sistem peradilan institusi kunci adalah pengadilan,
kejaksaan, polisi, dan advokat, dan tambah lagi fakultas
hukum. Sulit sekali dikatakan bahwa satu lebih penting dari
pada yang lain, karena kelemahan satu memperlemahkan semuanya.
Agak ironis bahwa advokat kurang diperhatikan dibanding hakim,
jaksa, dan polisi, karena justru advokat, sebagai penghubung
(atau saluran dan penafsir antara) masyarakat dan institusi
hukum formal, yang seharusnya berperan luas dalam usaha
reformasi hukum, sebagai sumber kritik, pendesak
(pressuregroup), pencetus ide dan pandangan baru, guru
hukum buat kliennya, personalia potensil buat pengadilan,
kejaksaan, dan departemen pemerintah. Dari semua institusi
hukum, yang paling lunak, fleksibel, dan (relatif) gampang
dipersiapkan buat pekerjaan pembaruan adalah profesi advokat
dan pendidikan
hukum.
Sekarang sudah empat tahun sejak Presiden
Soeharto meletakkan jabatan, dan makin jelas bahwa reformasi
hukum (dan politik) tidak akan cepat atau lancar. Baik
pimpinan politik maupun kalangan pejabat lembaga-lembaga hukum
formal ternyata tidak mempunyai strategi reformasi dan belum
tentu ikut berkepentingan dalam reformasi Mungkin saja malah
sebaliknya, antara lain karena reformasi betul akan
memperkuatkan pimpinan baru yangrela tunduk dan merasa (paling
sedikit, agak) terikat pada hukum.
Sedangkan hakim, jaksa, polisi, dan pegawai administrasi
terpaksa menerima norma-norma pendekatan tugas dan
pertanggungjawaban yang cukup berat. Dalam keadaan ini,
lembaga hukum yang logis menjadi harapan reformasi (selain
pendidikan hukum) adalah profesi advokat. Di situ, paling
sedikit, selain advokat yang bermafia masih ada juga yang
jujur, mampu, dan rela berkorban diri sedikit. Muka meteka
terlihat hampir setiap hari di omop yang memperhatikan hukum,
pengadilan, dan hak asasi manusia, di beberapa firma advokat
dan konsultan, di Komnas HAM, dan lain
lagi.
Akan tetapi, pengaruh mereka sangat terbatas sekarang karena
fragmentasinya dan kelemahan organisasinya semua. Selain itu,
ternyata bahwa profesi advokat, karena tambah besar dan
bermutasi dengan begitu cepat, kehilangan landasan
ideologi—termasuk norma etik dan pertanggungjawaban
profesional—yang pernah iadi pegangan Peradin dulu.
Konsekuensi persoalan ini terlihat pada kelemahan rancangan
undang-undang advokat yang mencerminkan pandangan pimpinan
asosiasi-asosiasi advokat, dan terlihat juga dalam
ketidakrelaan pimpinan asosiasi-asosiasi advokat untuk
mengatasi permusuhannya dan menciptakan kembali satu
organisasi profesional yang kuat, teratur, dan siap
menyumbangkan kemampuan para advokat pada pekerjaan
reformasi.
Kalau ada pembaca yang anggap paragraf terakhir ini terlalu
idealis, impian saja, sebetulnya intinya berakar pada pendapat
para advokat sendiri yang tercatat dalam buku ini. Reformasi
profesi advokat (seperti lembaga hukum lain) memerlukan
informasi banyak dan pengertian mendalam. Buku ini penuh
dengan informasi dan pengertian tentang profesi advokat.
Justru karena mengerti bahwa profesi advokat merupakan unsur
penting dalam sistem hukum Indonesia dan penyehatannya, PSHK
ambil keputusan untuk mempelajarinya.
Buku ini merupakan hasil riset yang paling mendalam tentang
profesi advokat yang pernah ditulis di mana saja di Asia
Tenggara. Selama kira-kira satu tahun, tim yang menjalankan
riset itu mendekati persoalan advokat dan beberapa sudut—
termasuk survei tertulis yang direncanakan secara teliti,
wawancara langsung baik dengan sejumlah advokat maupun dengan
kliennya, analisis sejarah profesi dan keadaannya sekarang,
pertimbangan soal-soaj yang dihadapi advokat, ditambah
pemikiran dan pertimbangan kemungkinan perbaikan, dan banyak
lagi. Dan pekerjaan itu, yang dibantu oleh beberapa penasehat
dari kalangan advokat, diperkuat oleh suatu komitmen pada
objektivitas yangnyata di setiap halaman. Mutu riset tersebut
dan penjelmaannya dalam buku ini merupakan sumbangan yang agak
luar biasa baik pada dunia ilmu hukum maupun pada usaha
reformasi sistem peradilan.
Terbukti sudah bahwa jalan reformasi itu tidak gampang. Akan
tetapi, hasil proses perubahan itu mau tak mau tergantung
bukan hanya pada kebijaksanaan dan strategi politik yang masuk
akal, tetapi juga pada kapasitas lembaga-lembaga di luar
pemerintah untuk mendesakkan pembaruan yang bermanfaat buat
seluruh masyarakat. Tapi kemampuan itu menuntut pengetahuan
dan pengertian, selain imajinasi dan perencanaan, yang praktis
dan realistis. Buku tentang profesi advokatdi Indonesia ini
menawarkan landasan pengetahuan yang kuat dan mengesankan.
Semestinya dibaca oleh sebanyak mungkin warga negara dan
dipelajari setiap advokat yang merasa terdorong untuk
memperjuangkan negara hukum yang berdasarkan keadilan.
Daniel S. Lev
Seattle, September 2002
|
TIPS UNTUK
MASYARAKAT UMUM DALAM MEMILIH PENGACARA
|
|
|
|
Kenapa banyak
masyarakat mempunyai pandangan negatif terhadap pengacara-
pengacara kita?
Pertama, banyak
pengacara menjadikan hukum sebagai komoditas politik, untuk
kepentingan kekuasaan, kepentingan uang yang pada akhirnya
hukum itu sendiri diperjual- belikan.
Kedua, banyak
orang berpendapat bahwa idealisme dan integritas profesi
penasehat hukum kita telah runtuh. Pengacara tidak jauh dari
sebutan- sebutan ”mafia peradilan”; dimana adanya ”pengacara
yang tak pernah kalah” (yang artinya dalam prakteknya
pengacara ini mempunyai hubungan dan jaringan luas dengan
oknum jaksa atau hakim, sehingga selalu terbuka aksesnya utk
melakukan lobi- lobi secara tertutup atau melakukan penyuapan
untuk kepentingan kliennya. Ada juga sebutan ”pengacara
rekanan” sebutan bagi pengacara yang terjalin dalam konspirasi
dengan oknum jaksa utk menjadi pengacara terhadap tersangka
dalam kasus kasus tertentu seperti korupsi, narkotik dan
kejahatan dibidang perbankan. Dan ada pula ”pengacara
kalengan” yaitu pengacara yang secara profesional tidak
mempunyai kecakapan untuk menjadi pengacara, tapi apabil
diberi sebuah perkara, pertama kali tindakannya bukan mencari
dalil, bukti dan fakta untuk dasar pembelaannya, tetapi
berkasak-kusuk mencari oknum-oknum jaksa atau hakim yang bisa
disuap untuk dapat meringankan bahkan membebaskan kliennya.
Maka dari itu,
banyak pengacara disamakan dengan ”drakula” yang selalu dahaga
setiap saat siap menghisap ”darah” para kliennya dan memainkan
taktik taktik licik yang dapat menyebabkan para klien itu
kehilangan keyakinan atas kebenaran dan keadilan yang
diperjuangkannya.
Apakah bedanya
seorang advokat, pengacara dan penasehat hukum?
Advokat/
pengacara= trial lawyer= attorney at law= barrister, adalah
orang yang mewakili kliennya untuk melakukan tindakan hukum
berdasarkan surat kuasa yang diberikan untuk pembelaan atau
penuntutan pada acara persidangan di pengadilan atau beracara
di pengadilan (proses litigasi). Ia menjalankan praktek
profesinya berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman atau
Ketua Pengadilan Tinggi setempat di muka dan diluar
pengadilan.
Penasehat hukum=
counsellor at law= solicitor, adalah orang yang bertindak
memberikan nasehat- nasehat dan pendapat hukum terhadap suatu
tindakan/ perbuatan hukumn yang akan dan yang telah dilakukan
oleh kliennya (non-litigation). Konsultan hukum menjalankan
praktek profesinya berdasarkan surat izin usaha yang khusus
yang diberikan oleh yang berwenang tidak di muka pengadilan. *
Corporate lawyer pd perusahaan properti pada umumnya bekerja
untuk pekerjaan2 hukum yang berkaitan dengan bidang usaha
properti seperti pembebasan tanah, jual beli tanah, sewa
menyewa gedung, perjanjian kerja sama penggunaan properti,
perjanjian pembangunan gedung dengan kontraktor lainnya
(pekerjaan diluar litigasi).
Namun,
hingga sekarang, kita belum memiliki istilah dan pengertian
yang baku tentang advokat, pengacara, penasehat hukum atau
diistilahkan lain.
Apakah tips yang
dapat diberikan kepada masyarakat umum dalam membuat keputusan
untuk berurusan dengan seorang penasehat hukum?Pertama
sekali, faktor2 yang harus dipertimbangkan termasuk:
a. identifikasi
masalah yang dihadapi,
b. bentuk
tindakan yang harus dilakukan dan,
c. kesiapan
secara moril maupun material dalam berperkara.
Perlu diingat
bahwa penggunaan penasehat hukum tidak secara otomatis dalam
rangka untuk melakukan suatu tindakan hukum terhadap suatu
perkara. Keberadaan hukum sendiri adalah suatu alat untuk
memelihara keadilan agar selalu tercipta ketentraman dalam
masyarakat. Bagaimanapun keadilan bukanlah konsep yang baku
secara universal. Bermacam macam masyarakat akan melahirkan
persepsi keadilan yang bermacam2 pula, begitu pula berlaku
bagi individu2 dan bahkan para hakim sekalipun. Maka dari itu
banyak masyarakat akhirnya kecewa karena melihat keadilan
hanya dari sudut pandang dirinya sendiri. Padahal, suatu
putusan hakim hanyalah jalan keluar yang maksimal dari suatu
perkara, bukan berarti memberikan semua apa yang diminta,
barangkali hanya sebagian, bahkan tidak sama sekali. Para
hakim hanya mendapatkan gambaran dari rekonstruksi suatu
peristiwa. Jadi janganlah terlalu berharap akan terjadi
suatu keajaiban dengan melakukan suatu tindakan hukum. Belum
lagi kesiapan moril dan materil seperti tekanan- tekanan
psikologis dalam berbagai situasi yang dialami selama proses
berperkara yang dapat menjadi mimpi buruk untk kita.
Contohnya, mungkin saja satu saat seseorang yang sedang
berperkara untuk sementara terpaksa meninggalkan pekerjaan
karena harus hadir dalam jadwal persidangan.
Dengan demikian,
sangatlah bijaksana apabila pihak2 yang berperkara lebih
mengutamakan jalan penyelesaian secara damai diluar
pengadilan. Jikapun harus diselesaikan melalui tindakan hukum
melalui proses acara persidangan di pengadilan hendaknya hal
tersebut ditempatkan sebagai pilihan akhir.
Sebaliknya,
kondisi dan situasi dimana penasehat hukum dan tindakan hukum
dibutuhkan adalah apabila seseorang diancam pidana mati;
menghadapi gugatan hutang-piutang atau wansprestasi dalam
perjanjian yang jumlah dan nilainya sangat essential.
Bagaimana
menentukan seorang penasehat hukum dan honornya?
Untuk mendapatkan
penasehat hukum yang baik banyak cara dapat dilakukan.
Pertama, menunjuk penasehat hukum yang mempunyai kecakapan dan
pengalaman pada bidang perkara yang anda hadapi.
Kedua, menunjuk
penasehat hukum yang independen atau bebas dari kepentingan
atau tekanan pihak manapun, apalagi mereka yang mempunyai
hubungan dengan lawan perkara anda, baik hubungan keluarga,
atasan/ bawahan, bisnis atau yang pernah menanggani lawan
perkara anda tersebut.
Ketiga, anda juga
dapat menunjuk penasehat hukum yang dikenal atau berdasarkan
rekomendasi dari teman atau relasi yang pernah mengalami
kesuksesan dalam menyelesaikan perkara mereka.
Terakhir, anda
dapat mencari penasehat hukum yang cocok dari media buku
kuning atau buku daftar penasehat hukum.
Dalam
masalah honor, biasanya konsultasi pertama diberikan secara
cuma- cuma, maka dari itu pergunakanlah waktu ini secara
efektif kepada penasehat hukum anda. Honor seorang penasehat
hukum biasanya ditentukan dengan rumit tidaknya suatu kasus
dan kondisi dan posisi seorang klien di dalam suatu perkara.
-
Contigent fee
adalah suatu kondisi dimana sang penasehat hukum untk
sementara waktu membiayai perkara tersebut, dan apabila jika
dikemudian hari perkara tersebut dapat dimenangkan, maka
klien harus membayar honor/fee yang telah ditetapkan untk
penasehat hukum.
-
Success fee
adalah fee yang berkaitan dengan dimenangkannya perkara.
Hubungan
kepercayaan yang mana yang harus ada antara klien dan
penasehat hukum ?
Kepercayaan yang didasarkan atas suatu emphati yang cukup
untuk mengenal harapan dan keinginan pihak lain. Kemampuan
mengidentifikasi hal hal yang dapat menimbulkan resiko dan
ancaman terhadap hubungan, membuat segala sesuatu yang
berpotensi membuat terjadinya perkara dapat dihindari. Pendek
kata, setiap pihak saling memahami dan menghargai
kepentingannya dan kepercayaan ini dapat dibangun terus
sehingga mencapai puncaknya. Pentingnya kepercayaan adalah
untuk tujuan kerjasama yang baik, dan meringankan beban
transaksi.
Kapan sebaiknya
digunakan Alternative Dispute Resolution (forum damai diluar
pengadilan)?
Bagi perkara yang
telah mengakibatkan suatu kerugian yang tidak dapat diperbaiki
terutama dalam perkara perkara pidana, forum pengadilan adalah
pilihan yang sesuai untuk menyelesaikannya.
Tetapi
bagi perkara yang berkaitan dengan persoalan nilai, perasaan;
persepsi, harga diri serta perkara berkaitan dengan hubungan
bisnis yang menghendaki hubungan kerja sama yang telah terbina
tetap terpelihara dengan baik, ADR adalah forum yang tepat
untuk menyelesaikannya.
|
TIPS UMUM UNTUK
PENGACARA DALAM MENJALANKAN PROFESINYA
|
|
|
|
Bagaimana seorang
pengacara menghadapi sebuah perkara.
Pertama, pertimbangkan dengan baik dan hati-hati apa yang
diperkarakan, siapa yang berperkara, bagaimana kronologis
terjadinya perkara dan adakah hal- hal yang perlu dikawatirkan
terhadap penggunaan cara dan proses tertentu dalam
penyelesaiannya.
Karena tidak
tepatnya cara atau proses yang digunakan dalam penyelesaian
perkara itu sendiri dapat menyebabkan sebuah mimpi buruk bagi
pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Suatu perkara tidak
selalu harus diselesaikan melalui proses ”tindakan hukum”
melainkan melalui dialog dan tindakan persuasif. Bagi perkara
yang mempunyai solusi hukum, tentunya harus diselesaikan
dengan tindakan hukum pula, terlebih bagi perkara yang
mempunyai eskalasi yang luas, menyangkut kepentingan
masyarakat umum dan negara.
Apakah yang harus
dilakukan seorang pengacara untuk membalikkan kembali
kepercayaan masyarakat terhadap profesi ini?
Sebagai pengacara, hendaklah kita berbuat berdasarkan
keyakinan yang baik, yang berdasarkan dengan kode etika yang
ada, jujur di negosiasi2 yang dipercayakan kepada kita, dan
tidak mengambil keuntungan yang berlebihan dari orang lain
kalau memang ada kesempatan seperti itu. Hendaklah, seorang
penasehat hukum bersikap dan bertingkah laku sebagai seorang
penasehat hukum yang bertanggung jawab, baik menjunjung tinggi
hukum, menghormati hak dan kepentingan pihak lawan dan tidak
melecehkan pihak lawan. Kode etik melarang penasehat hukum
melakukan kolusi atau rekayasa perkara dengan pihak lawannya
yang dapat merugikan klien. Undang- undang memperbolehkan para
penasehat hukum untuk melakukan perdamaian dengan pihak
lawannya untuk menyelesaikan perkara di luar jalan pengadilan,
namum harus seijin klien yang bersangkutan tersebut.
Apakah
yang dimaksud dengan kode etika profesional itu?Kode
etika (Kansil) adalah suatu nilai nilai positif yang menuntun
perilaku atau tindak tanduk manusia, dan penguraiannya adalah:
1.
Ilmu tentang apa
yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak kewajiban moral,
2.
Kumpulan asas atau nilai yang berkenan dengan akhlak;
3.
Nilai mengenai benar atau salah
yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Dengan kata lain,
pertanyaan dasar etika adalah bagaimana saya harus bertindak
dalam bidang yang bersangkutan, atau bagaimana bidang tersebut
ditata agar menunjang pencapaian kebaikan manusia sebagai
manusia.
Profesi adalah
suatu pekerjaan yang mempergunakan keahlian khusus dengan
standar dan kualitas tertentu didapatkan dari pendidikan atau
lamanya suatu pengalaman. M Sanusi memberikan definisi kode
etik profesi penasehat hukum sebagai:
Ketentuan atau norma yang mengatur sikap, prilaku dan
perbuatan yang boleh atau tidak boleh dilakukan seorang
penasehat hukum dalam menjalankan kegiatan profesinya, baik
sewaktu beracara di muka pengadilan maupun di luar pengadilan.
Kesimpulannya
adalah suatu profesi tidak akan mempunyai citra, wibawa dan
harkat serta matabat apabila tidak dilekatkan dengan nilai-
nilai etika yang luhur. Justru hal ini dapat menjadi sangat
berbahaya apabila segala kecakapan dan keahlian tersebut tidak
ada melekat nilai-nilai etika yang baik.
Pelanggarannya
mungkin lebih berkualitas daripada yang dibuat orang orang
awan. Para penasehat hukum haruslah berusaha menciptakan dan
memiliki suatu kode etik yang tegas tampa ada bagian yang abu-
abu yang dapat diinterpretasikan secara bebas dan berbeda
satu sama lain.
Dimana dan apakah
kode etik yang ada di Indonesia?
Kode
Etik Penasehat Hukum Indonesia adalah kode etik yang telah
disepakati oleh Ikadin (Ikatan Advokat Indonesia), AAI
(Assosiasi Advokat Indonesia), IPHI (Ikatan Penasehat Hukum
Indonesia) pada tanggal 4 April 1996. Kode Etiknya termasuk:
Kode Etik yang Berkaitan dengan Sikap, Perilaku, dan
Kepribadian Penasehat Hukum pada Umumnya, Hubungan Penasehat
Hukum dengan Klien dan Menjaga Hubungan Sesama Teman Sejawat
dan sikap dan tindakan Penasehat Hukum dalam menanggani
perkara dan menghadapi lawan perkara.
Kewajiban bagi
penasehat hukum untuk menjunjung tinggi Pancasila, UUD’45, UU
dan Peraturan yang berlaku di Negara Republik Indonesia, kita
jumpai dalam pasal 37 dari UU no 14 (1970) tentang Pokok Pokok
Kekuasaan Kehakiman dan juga dalam sumpah jabatan penasehat
hukum. Dalam sumpah itu juga ditekankan kewajiban seorang
penasehat hukum untuk menghormati kekuasaan umum (penuntut
umum dan penyidik) dan badan peradilan Indonesia (hakim,
panitera, jurusita dan pejabat struktural kepaniteraan).
Pelaksanaanya
diawasi suatu badan otoritas, Dewan Kehormatan baik yang
berada di cabang atau pusat. Cara beracara di persidangannya
dan sanksi atas pelanggaran kode etik ditentukan sendiri.
Kapan
diberlakukannya contempt of court?
Rekernas MA
(1986) mengelompokkan perbuatan penasehat hukum yang dapat
dianggap sebagai contempt of court, yaitu: A.
Secara lisan atau
tertulis telah mengeluarkan pernyataan atau pendapat yang
merupakan perbuatan yang diancam dengan pidana;
B.
Memperlihatkan sikap yang tidak hormat kepada majelis
pengadilan atau pejabat peradilan lainnya,
C.
Mengabaikan
kepentingan dari si peminta bantuan hukum,
D.
Menggunakan kata kata yang tidak pantas terhadap undang undang
atau pemerintah, E.
Bertingkah laku dan berbuat
yang tidak layak terhadap pihak pihak yang berperkara atau
pembelanya.
Bagaimanakah
garis besar pengangkatan seorang penasehat hukum?
Ketentuan- ketentuan yang mengatur tentang penasehat hukum
secara khusus hanyalah berdasarkan peraturan-peraturan yang
dikeluarkan oleh Makamah Agung dan Menteri Kehakiman berupa
surat edaran dan surat keputusan bersama. Tidak ada
ketentuan-ketentuan setingkat dengan UU yang khusus mengatur
tentang penasehat hukum atau diistilahkan lain.
Lihat Surat
Edaran MA No 047/TUN/III/1989 tgl 18 Maret 1989 ttg Penerimaan
Calon Pengacara Praktek dan Advokat (penasehat hukum), tentang
ujian dan lain lain.
Setelah
lulus dalam proses seleksi atau ujian maka pengacara praktek
akan diberikan surat pengangkatan oleh Kepala Pengadilan
Tinggi, sedang advokat mengucap sumpah dihadapan Majelis hakim
Pengadilan Tinggi setempat.
Tips: pada era
globalisasi dimana terjadi kegiatan dan hubungan antara satu
atau kelompok manusia dengan manusia lain, akan terjadi
hubungan tidak hanya antara perusahaan, lembaga, kelompok
organisasi dalam negara, melainkan meluas menjadi antara
negara.
Contohnya,
dalam financial law, banyak persoalan dikaitkan dengan capital
market, sindicated loan, restructuring, securitisation,
banking, and taxation. Corporate law terkait dengan persoalan
merger, take over, acquisition, bankrupcy dan liquidation.
Industrial law terkait dengan persoalan labour, employment,
natural resources, environmental, mining, investment,
construction, real property dan insurance. Commerial law
terkait dengan persoalan contract, copy right, patent,
trademark, labelling, franchising, licencing dan agency, dll.
Maka dari itu,
penasehat hukum tidak hanya harus mampu dalam memberikan
konsultasi hukum dan beracara pada persidangan di pengadilan
tetapi juga harus ahli dalam melakukan negosiasi, mediasi, dan
konsiliasi sebagai metode dari penyelesaian perkara di luar
pengadilan tersebut.
Metode cara
penyelesaian diluar pengadilan akan lebih popular digunakan
dalam menyelesaikan perkara- perkara bisnis.
Apakah yang
dimaksud dengan ”Fenomena Konsultan Hukum”?
Ketentuan- ketentuan di dalam Kode Etik Penasehat Hukum
Indonesia dan Anggaran Dasar AAI secara mum cenderung lebih
mengatur hal-hal yang berkaitan dengan penasehat hukum yang
berpraktek di muka pengadilan.
Hasilnya adalah
bahwa penasehat hukum yang menjalankan praktek sebagai
konsultan hukum nyaris tidak mempunyai landasan hukum
sebagaimana halnya dengan penasehat hukum yang menjalankan
praktek di muka pengadilan. Padahal, para konsultan hukum ini
banyak terlibat secara luas dalam memberikan konsultasi hukum
bagi investor domestik maupun asing dalam rangka melakukan
penanaman modelnya secara langsung di Indonesia. Seperti dalam
merancang memorandum of understanding, perjanjian joint
venture, technical assistant, pendirian badan usaha,
perpajakan, perijinan, pertanahan, tenaga kerja perbankan,
impor alat-alat produksi, dsb. Konsultan Hukum menghindari
penangganan pekerjaan berupa perkara-perkara yang diselesaikan
melalui proses litigasi. Artinya, dalam menjalankan
prakteknya, tidak perlu ada surat kuasa dari para kliennya
tapi bekerja berdasarkan permintaan jasa konsultasi.
Pendirian kantor konsultan
hukum sama sebagaimana halnya dengan kantor advokat atau
pengacara. Kantor konsultan hukum didirikan berdasarkan
perjanjian perserikatan perdata, kemudian didaftarkan kepada
panitera pengadilan negeri setelah terlebih dahulu mendapatkan
domisili dan Nomor Pendaftaran Wajib Pajak (NPWP). Dapat juga,
konsultan hukum melakukan praktek di bawah nama badan hukum
perseroan terbatas atau yayasan, dan ini sangat sulit ditindak
apabila adanya pelanggaran kode etik dalam prakteknya.
|
PROSEDUR
PENGADILAN DI INDONESIA - PIDANA (I)
|
|
|
|
Pola dasar tentang
prosedur penyelenggaraan administrasi perkara
Pra peradilan. Untuk kepentingan
pengawasan terhadap pelanggaran hak asasi manusia oleh aparat
penyidik dan penuntut umum, maka lembaga praperadilan dibuat
atas dasar KUHAP pasal 8, 77 s/d 83, 95(2) dan pasal 9 UU
Kekuasaan Kehakiman. Pemberian wewenang ini bertujuan untuk
menegakkan hukum dan keadilan secara sederhana, cepat dan
murah dalam rangka memulihkan harkat/ martabat, kemampuan/
kedudukan serta mengganti kerugian terhadap korban yang merasa
dirugikan.
Yang dapat mengajukan adalah tersangka, keluarga atau
kuasanya, penyidik, umum atau pihak ketiga yang berkepentingan
kepada ketua pengadilan negeri (pasal 80) dengan menyebutkan
alasannya (pasal 79). Tapi, dalam pasal 83 (2) pengadilan
tinggi mempunyai wewenang untuk memberi putusan akhir atas
putusan praperadilan yang menyatakan tidak sahnya penyidikan
atau penuntutan. Ini adalah pemeriksaan khusus yang tidak
dapat diperani oleh Makamah Agung. Dan praperadilan tidak
dapat dilakukan oleh anggota ABRI yang menggambarkan campur
tangan sipil di lingkungan kehidupan militer.
Pasal 77 dan pasal 1 butir 10 menjabarkan yang diperiksa/
macam- macam kerugian yang diderita adalah:
a. Sah tidaknya penangkapan, penahanan (yang
tidak memenuhi syarat pasal 21 termasuk juga penahanan yang
lebih lama daripada yang dijatuhkan), penyidikan atau
perhentian tuntutan yang masih perlu menemukan bukti lain,
kadaluarsa, tidak ada pengaduan delik aduan atau pengaduannya
dicabut, karena tersangka/ terdakwa meninggal dunia, atau
karena keliru orangnya (error in persona), ne bis in idem,
bukan perkara pidana, peraturan perundangan yang digunakan
telah dicabut- pasal 16 s/d 31, dan juga tindakan lain- pasal
95(1) (2), pasal 1 butir 22 yaitu kerugian yang ditimbulkan
oleh pemasukan rumah, pengeladahan dan penyitaan yang tidak
sah menurut hukum.
b. Ganti kerugian uang dan atau rehabilitasi
bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pd tingkat
penyidikan atau penuntutan (pasal 22). Pasal 99 (2) biaya yang
telah dikeluarkan seperti biaya pengobatan, pemulihan cacat,
operasi patah tulang, memperbaiki mobil yang ditabrak, dsb
dapat didapat kembali apabila gugatan ganti kerugian
diterima.
Batas waktu pengajuan ganti kerugian berdasarkan pasal 95
adalah dalam tenggang waktu 3 bulan sejak putusan pengadilan
yang mempunyai kekuatan hukum tetap untuk a, dan 3 bulan
dihitung saat pemberitahuan penetapan peradilan untuk b.
Namun, apabila kerugian disebabkan oleh kesalahan tersangka,
tuntutan itu tidak akan dikabulkan.
Pemeriksaan praperadilan harus dilakukan secara cepat, dalam
waktu 7 hari harus sudah dijatuhkan putusan. Permintaan
praperadilan menjadi gugur jika perkara sudah dimulai
diperiksa oleh pengadilan, sedang pemeriksaan mengenai
permintaan praperadilan belum selesai.
Putusan praperadilan tidak dapat dimintakan banding (pasal 83)
dengan perkecualian mengenai putusan praperadilan yang
menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan atau
penuntutan, maka atas hal tersebut dapat diajukan banding ke
pengadilan tinggi, selanjutnya putusan pengadilan atas perkara
tersebut merupakan putusan terakhir.
Besarnya imbalan ganti rugi:
1.
Ganti kerugian atas dasar pasal 95 dan pasal 77 adalah
berupa imbalan serendah-rendahnya berjumlah Rp. 5000 dan
setinggi-tingginya Rp 1 000.000.
2.
Apabila yang bersangkutan cacat hingga tidak dapat melakukan
pekerjaan atau mati, besarnya ganti kerugian berjumlah
setinggi-tingginya 3.000.000- penetapan diberikan 3 hari
setelah penetapan diucapkan.
3.
Rehabilitasi berdasarkan
pasal 97, harus diajukan dalam waktu 14 hari setelah
putusan lepas tersangka, yang berisi:
a.
Amar putusan dari pengadilan mengenai rehabilitasi sebagai
berikut:
Memulihkan hak terdakwa
dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat martabatnya.
b. Amar penetapan dari praperadialn mengenai
rehabilitasi berbunyi sbb:
Memulihkan hak pemohon
dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya.
Isi
putusan atau penetapan rehabilitasi diumumkan oleh panitera
dengan menempelkannya pada papan pengumuman pengadilan (pasal
15), ke pemohon, penyidik, penuntut umum, tempat kerja, RT/RW
(Pasal 13 Peraturan Pemerintah No 27 (1983)).
Orang yang mendapat kerugian disebabkan karena dilakukannya
suatu tindak pidana, dapat menggabungkan perkara pidananya
dengan permohonan untuk mendapat ganti rugi yang pada
hakekatnya merupakan suatu perkara perdata (pasal 98 s/d 101).
1. Pengadilan Tingkat Pertama
Pengadilan Negeri
1.1
Perkara Perdata Umum
Meja Pertama
Kas
Meja Kedua
Meja Ketiga
Banding:
-
Bundel A (Pengadilan Negeri)
-
Bundel B (Pengadilan Tinggi)
Kasasi:
-
Bundel A (Pengadilan Negeri)
-
Bundel B (Makamah Agung)
Peninjauan Kembali
-
Bundel A (Pengadilan Negeri)
-
Bundel B (Makamah Agung)
1.2
Perkara Pidana Umum
KUHPT pasal 84 (1) Pengadilan Negeri berhak mengadili suatu
tindak pidana dimana tindak pidana itu dilakukan di wilayah
hukumnya, namun ada pembatasan dalam pasal 84 (2).
Selanjutnya, pasal 84 (3) menerangkan apabila seorang terdakwa
melakukan beberapa tindak pidana di dalam daerah hukum
pelbagai pengadilan negeri, tiap pengadilan negeri itu
berwenang mengadili perkara pidana itu. Liat juga pasal 84
(4)- tentang penggabungan perkara dan pasal 85 dimana Makamah
Agung menetapkan pengadilan lain apabila terjadi bencana di
daerah 1 pengadilan negeri yang berhak mengadili suatu
perkara.
Pengadilan Negeri baru dapat menyidangkan suatu perkara
apabila suatu perkara telah dilimpahkan oleh penuntut umum
dengan permohonan untuk diadili (pasl 137 KUHAP). Hal ni
dipelajari oleh ketua pengadilan (pasa147). Apabila bukan
Pengadilan Negri itu tidak punya wewenang, pasal 148 (1)
menjelaskan bahwa surat itu diberikan kepada Pengadilan Negri
lain yang dianggap berwewenang.
Apabila Pengadilan Negri itu punya wewenang, ketua menunjuk
hakim yang akan menanggani perkara tersebut. Hakim tersebut
menetapkan hari sidang, pemanggilan terdakwa dan para saksi
(dengan surat sah ke tempat tinggalnya, atau kepala desanya
atau ditempelkan pada pengumuman di gedung pengadilan yang
berwenang mengadili perkara tersebut.) Di dalam pengadilan,
menurut pasal 156 KUHAP, setelah hakim meneliti identiti
terdakwa, surat dakwaan dibacakan, tangkisan2 dapat diberikan
oleh terdakwa, yang terdiri dari:
1.
Surat dakwaan itu tidak sah atau tidak memenuhi syarat2 yang
ditentukan oleh UU,
2.
Pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya, (perlawanan
atas putusan hakim Pengadilan Negeri dapat diajukan ke
Pengadilan Tinggi),
3.
Hak penuntutan gugur karena kadaluarsa.
Penuntut Umum diperkenankan merespon, hakim
mempertimbangkannya, dan apabila keberatan diterima, sidang
tidak dilanjutkan. Namun, apabila keberatan tidak diterima,
sidang dilanjutkan, atau diperiksa dulu baru dilanjutkan.
Perkara yang diajukan kepada mengadilan terdiri dari 3 jenis:
a. Acara pemeriksaan biasa, yang diatur dalam
pasal 152 s/d 202,
b. Acara pemeriksaan singkat, pasal 203-204,
c. Acara Pemeriksaan cepat, yang diatur dalam
pasal 205 s/d 216.
1.
Acara Pemeriksaan Tindak Pidana Ringan pasal
205-210,
2.
Acara Pemeriksaan Perkara Pelanggaran Lalu
Lintas Jalan pasal 211 s/d 216.
Apabila terdakwa tidak hadir (154 (2) s/d (6) KUHAP), sampai
dia didatangkan secara paksa barulah sidang dapat
dilaksanakan. Apabila saksi tidak hadir, dia dapat dikenakan
pidana pasal 224 KUHP.
Penyellenggaraan administrasi perkara pidana umum oleh
Panitera Pengadilan:
Meja Pertama
Meja Kedua
Banding:
-
Bundel A (Pengadilan Tingkat Pertama)
-
Bundel B (Pengadilan Tinggi Banding)
Kasasi:
-
Bundel A (Pengadilan Tingkat Pertama)
-
Bundel B (Makamah Agung)
Peninjauan Kembali
-
Bundel A (Pengadilan Tingkat Pertama)
-
Bundel B (Makamah Agung)
Grasi
-
Bundel A (Pengadilan Tingkat Pertama)
-
Bundel B (Makamah Agung)
2. Pengadilan Tinggi
Dua
tugas pokok pengadilan tinggi termasuk, 1. memutus
perselisihan- perselisihan peradilan (yurisdiksi) (pasal 148
149) dan memutus dalam tingkat banding perkara-perkara pidana
dan perkara perdata dari semua keputusan pengadialn negeri
yang dimintakan banding (pasal 87). Namun beberapa putusan
pengadilan negeri yang tidak bisa dimintakan banding termasuk
seperti putusan praperadilan (pasal 83 (1)) dan putusan
pengadilan yang ancaman hukumnya tidak lebih dari 3 bulan
kurungan atau denda Rp 7,500.
Penyelenggaran Administrasi Perkara Pada Pengadilan Tingkat
Banding
Meja Pertama
Kas
Meja Kedua
Meja Ketiga
2.1
Perkara Perdata Banding
-
Batas waktu 14 hari
-
Syarat2 terpenuhi,
-
Dalam 1 bulan harus dikirim ke Pengadilan Tinggi
(berkas dijilid (bundel A & B).
2.2
Perkara Pidana Banding (KUHAP 233-243)
-
Batas waktu 14 hari setelah
permintaan banding dimajukan, Panitera mengirimkan berkas
perkara banding kepada Pengadilan Tinggi.
- Penuntut
umum dapat mengajukan permintaan banding dalam waktu 7 hari-
KUHAP pasal 233, kecuali terhadap putusan bebas, putusan lepas
dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang
tepatnya peberapan hukum dan putusan pengadilan acara cepat-
pasal 67. Ketentuan2 lain liat pasal 236 (2), (4)- tentang hak
asasi terdakwa, 237, dan 243(2).
-
Pencabutan banding berarti tidak
boleh mengajukan permohonan lagi- pasal 235.
-
Ketua Pengadilan melapor kepada
Ketua Pengadilan Tinggi dasar2 dari permohonan banding yang
dimaksud:
o
Tentang pasal-pasal dakwaan
o
Pokok-pokok amar putusan Pengadilan Negeri,
o
Pendapat dari Ketua Pengadilan Negeri tentang
perlu/tidaknya terdakwa ditahan lebih lanjut.
o
Kalau ada kelalaian atau kekeliruan atau ada
yang kurang lengkap, dimana Pengadilan Tinggi dapat menyuruh
Pengadilan Negri harus memperbaiki atau membatalkan
penetapannya sebelum putusan pengadilan dijatuhkan- pasal 240.
2.3
Perkara Perdata Kasasi (Permohonan Pembatalan
Putusan)
Alasan2 yang memungkinkan:
- Pengadilan
lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh Undang
Undang,
-
Pengadilan melampaui batas-batas
wewenangnya,
- Pengadilan
salah dalam menerapkan hukum,
-
14 hari untuk menyatakan kasasi ke Makamah Agung
(biaya= Rp 500,000)
-
Kirim meori kasasi kepada lawan
kira kira dalam 30 hari setelah tanda penerimaan.
-
Kontra memori kasasi kira kira
dalam waktu 14 hari.
-
Panitera mengirimkan berkas
kasasi ke Makamah Agung, dijilid sesuai peraturan
yang berlaku.
2.4
Perkara Pidana Kasasi (244-258 KUHAP atas dasar
pasal 10(3) UU Kekuasaan Hakim.)
Peradilan dalam tingkat kasasi ini bukanlah peradilan dalam
bentuk instantsi tingkat ke III di atas banding, karena Hakim
kasasi tidak memeriksa perkara itu dari awal, ia hanya
menyelidiki apakah hakim yang lebih rendah itu telah
menerapkan hukum dengan tepat.
Putusan bebas tidak bisa diajukan kasasi- pasal 244, 245 (1)
KUHAP. Pemeriksaan dll liat KUHAP pasal 244-258. Tata caranya
terdapat dalam pasal 259, 260, 261, 261 KUHAP.
14
hari setelah putusan pengadilan, Panitera wajib:
- Memberikan surat
keterangan/ permohonan kasasi;
- Memberitahu pihak
lainnya,
- Memberi memori
kontra kepada pihak lainnya,
- Memberi kesempatan
untuk pihak lainnya mempelajari permohonan kasasi,
- Dalam 14 hari
setelah berakhir tenggang waktu, Panitera mengirim berkas ke
Makamah Agung-
pasal 248 (6)
Pada waktu terdakwa dalam status tahanan, Makamah Agung harus
diberitahukan, sesuai dengan pasal 253 KUHAP:
-
Tentang adanya permohonan kasasi tersebut,
-
Tentang pasal-pasal yang didakwakan,
-
Amar tingkat putusan yang dimohonkan kasasi,
-
Data-data tentang tahanan terdakwa,
-
Pendapat Ketua Pengadilan Negeri tentang perlu/
tidaknya terdakwa ditahan lanjut.
KASASI demi kepentingan umum (pasal 259-262):
-
Dilaksanakan oleh Jaksa Agung,
-
Putusan Kasasi demi kepentingan
hukum tidak boleh merugikan pihak yang berkepentingan.
2.5
Perkara Perdata Peninjauan Kembali
Peninjauan Kembali diajukan dalam tenggang waktu 180 hari
setelah putusan/penetapan mempunyai kekuasaan hukum tetap,
atau sejak diketemukan bukti-bukti baru atau bukti-bukti
adanya penipuan.
-
Rp 2,500.000 harus dibayar ke
Panitera Pengadilan Tingkat Pertama
-
Dalam tempo 14 hari Panitera
memberitahukan salinan permohonan PK kepada pihak
lainnya, dengan alasan2 dan pihak lawan harus
menjawab dalam tempo 30 hari.
- Berkas
yang sudah sedemikian rupa disusun akhirnya dikirim ke Makamah
Agung.
Alasan2 PK:
- Apabila
keputusan didasarakan atas suatu kebohongan atau tipu muslihat
dari pihak lawan yang diketahui setelah perkara diputus atau
pada suatu keterangan saksi atau surat-surat bukti yang
kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;
- Apabila
setelah diputus, diketemukan surat-surat bukti yang bersifat
menentukan, yang pada batas waktu perkara diperiksa tidak
dapat diketemukan,
- Apabila
dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari yang
dituntut.
-
Apabila mengenai suatu bahagian
dari tuntutan belum diputus tampa dipertimbangkan
sebab-sebabnya,
- Apabila
antara pihak-pihak yang sama, mengenai soal yang sama, atas
dasar yang sama, oleh pengadilan yang sama atau sama
tingkatannya telah diberikan putusan yang satu dengan yang
lainnya saling bertentangan.
- Apabila
dalam satu putusan terdapat ketentuan-ketentuan yang
bertentangan dengan yang lainnya (pasal 67 UU no 14 1985).
2.6
Perkara Pidana Peninjauan Kembali
Tidak bisa terhadap putusan bebas. Ketentuan-ketentuan lain
untuk jaksa liat KUHAP pasal 263- 269.
- Panitera
wajib menanyakan alasan-alasannya dan untuk itu Panitera harus
membuat surat permintaan Peninjauan Kembali kepada Jaksa
Penuntut Umum.
- Menyediakan
berita acara pemeriksaan Peninjauan Kembali tentang alasan
Peninjauan Kembali yang ditandatangani oleh Hakim, Jaksa,
Pemohon dan Panitera.
- Berita
acara pendapat Ketua Pengadilan Negeri tentang Peninjauan
Kembali,
- Permintaan
Peninjauan Kembali yang dilampiri berkas perkara semula,
berita acara pemeriksaan dan berita acara pendapat dikirim ke
Makamah Agung dengan pos tercatat yang tembusan surat
pengantarnya disampaikan kepada pemohon dan jaksa.
Alasan2 PK:
- Apabila
terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika
keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih
berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan
lepas dari tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak
dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan
pidana yang lebih ringan,
- Apabila
dalam berbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah
terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan
alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata
telah bertentangan satu dengan yang lain;
- Apabila
putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim
atau kekeliruan yang nyata;
- Apabila
dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah
dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu
permidanaan= pasal 263 (3) KUHAP.
Makamah Agung dapat menjatuhkan putusan berupa:
-
putusan bebas,
-
putusan lepas dari segala tuntutan hukum;
-
putusan tidak dapat menerima tuntutan penuntut
umum,
-
putusan dengan menerapkan ketentutan pidana yang
lebih ringan.
2.7
Perkara Pidana Grasi
- Dapat
diajukan oleh terpidana sendiri, keluarga dan kuasanya kepada
Presiden melalui Panitera Pengadilan Negeri setempat, tempat
dimana terpidana diadili pada tingkat agama pertama.
-
Tenggang waktu penangguhan
pelaksanaan putusan 14 hari sesuai UU Grasi No 3 1950:
o Surat
penolakan tegas atau penerimaan grasi yang telah diajukan
kepada Presiden,
o Bentuk
grasi yang diberkan apabila ada,
o Keterangan
tentang status orang yang dipidana:
§
Apakah belum atau telah/ sedang
menjalani pidana atau pidana pengganti,
§ Jika
belum, ada di dalam/ luar tahanan,
§
Jika dijatuhi pidana denda, apalah sudah lunas
dibayar atau belum atau menyalami pidana pengganti;
§ Jika
dijatuhi pidana tambahan berupa peramapasan barang bukti,
dimana barang itu tetap disimpan, diuangkan, dsb.
§ Berkas
perkara semula disertai dengan surat permohonan grasi, saran/
pendapat Hakim dan surat-surat lainnya dikirimkan ke Kejaksaan
Negeri untuk dilanjutkan ke Makamah Agung RI.
Macam2 Register:
a. Pengadilan Negeri
1. Perkara Perdata
a. Register
Induk Perkara Perdata Gugatan,
b.
Register Induk Perdata Pemohonan,
c.
Register Permohonan Banding,
d.
Register Permohonan Kasasi,
e.
Register Permohonan Peninjauan Kembali,
f.
Register Surat Kuasa khusus,
g.
Register Penyitaan barang tidak bergerak,
h.
Register Penyitaan barang bergerak,
i.
Register Somasi (tegoran),
j.
Register eksekusi/ fiat eksekusi.
2. Perkara Pidana
a.
Register Induk Perkara Pidana Biasa,
b.
Register Induk Perkara Pidana Singkat,
i. Register Perkara Pidana Cepat,
ii.Register Perkara Lalu
Lintas,
c.
Register Penahanan,
d.
Register Izin Penggeledahan,
e.
Register Izin Penyitaan,
f.
Register Barang Bukti,
g.
Register Permohonan Banding,
h.
Register Permohonan Kasasi,
i.
Register Praperadilan,
j.
Register Permohonan Peninjauan Kembali
k.
Register Permohonan Grasi/ Remisi.
b. Pengadilan Tinggi
1. Perkara Perdata
a.
Register Perkara Banding
2. Perkara Pidana
a.
Register Perkara Banding,
b.
Register Penahanan,
c.
Register Barang Bukti,
Jenis Klasifikasi Perkara Pidana:
1.
Kejahatan terhadap keamanan negara,
2.
Kejahatan terhadap martabat Presiden/ Wakil,
3.
Kejahatan terhadap Negara Sahabat dan terhadap Kepala Negara
Sahabat dan Wakilnya,
4.
Kejahatan terhadap melakukan kewajiban dan hak kenegaraan.
5.
Kejahatan terhadap ketertiban umum,
6.
Kejahatan yang membahayakan keamanan umum bagi orang atau
barang,
7.
Kejahatan terhadap penguasa umum,
8.
Sumpah/ Keterangan Palsu,
9.
Pemalsuan uang,
10.
Pemalsuan Merek/ Materai,
11.
Pemalsuan Surat,
12.
Kejahatan terhadap asal-usul dan perkawinan,
13.
Kejahatan kesusilaan,
14.
Kejahatan Perjudian,
15.
Meninggalkan orang yang perlu ditolong,
16.
Penghinaan,
17.
Membuka rahasia,
18.
Kejahatan terhadap kemerdekaan orang lain,
19.
Kejahatan terhadap nyawa,
20.
Penganiayaan,
21.
Menyebabkan mati/ luka,
22.
Pencurian,
23.
Pemerasan dan Pengancaman,
24.
Penggelapan,
25.
Penipuan,
26.
Merugikan Pemiutang atau orang yang berhak,
27.
Menghancurkan atau merusak barang,
28.
Kejahatan jahatan,
29.
Kejahatan Pelayanan,
30.
Penadahan,
31.
Kejahatan Penerbitan dan percetakan,
32.
Tindakan Pidana Ekonomi,
33.
Pemerasan dan korupsi,
34.
Tindakan Pidana Subversi,
35.
Tindakan Pidana Narkotika,
36.
Tindakan Pidana Agama,
37.
Tindakan Pidana Imigrasi,
38.
Tindakan Pidana Devisa,
39.
Tindakan Pidana Lain,
40.
Tindakan Pidana Koneksitas,
41.
Tindakan Pidana Lingkungan Hidup.
Klasifikasi Hukum Perdata dan Adat
1.
Orang dan Kewarganegaraan,
2.
Hubungan keluarga, perkawinan dan perceraian,
3.
Warisan,
4.
Tanah,
5.
Benda (bukan tanah)
6.
Perikatan,
7.
Perjanjian Kerja,
8.
Hibah dan Wakaf,
9.
Lain-lain.
Klasifikasi Hukum Dagang
1.
Koperasi dan Firma,
2.
Perseroan,
3.
Perbankan,
4.
Surat Berharga, Bursa dan Saham,
5.
Asuransi
6.
Pengangkutan,
7.
Perusahaan,
8.
Kebangkrutan,
9.
Dll.
Selama
terhadap putusan itu masih dapat dilawan, dibanding atau
dimintakan kasasi, maka selama itu keputusan tersebut belum
menjadi tetap dan tidak dapat dilaksanakan.
|
|
PROSEDUR PENGADILAN DI
INDONESIA - PIDANA - PENYIDIKAN (2)
|
|
|
|
Hubungan Koordinasi Fungsional dan Instansional Dalam Rangka
Penerapan KUHAP di dalam pelaksanaan penyidikan
1. Hubungan antara penyidik
dengan penuntut umum, antara lain tentang:
a.
Mulainya penyidikan dan kewajiban pemberitahuan kepada
penuntut umum – pasal 109 (1)
b.
Perpanjangan penahanan untuk kepentingan penyelesaian
penyidikan – pasal 24 (2)
c.
Perberhentian penyidikan yang diberitahukan kepada penuntut
umum- pasal 109 (2)
d.
Penyerahan berkas perkara hasil penyidikan kepada penuntut
umum- pasal 110 (1)
e.
Penyidikan tambahan berdasarkan petunjuk umum dalam hal
berkas perkara dikembalikan kepada penyidik karena kurang
lengkap: berdasarkan KUHAP dan dengan memperhatikan
instruksi bersama Kapolri- Jaksa agung.
2. Hubungan antara penyidik
dengan pengadilan, antara lain tentang:
a.
Penggeledahan rumah – pasal 33 KUHAP,
b.
Penyitaan- pasal 34 (1)- (3),
c.
Pemeriksaan surat- pasal 47,
d.
Acara pemeriksaan tindak pidana ringan- pasal 205,
e.
Acara pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas jalan-
pasal 211- 216.
3. Hubungan antara penyidik
dengan penyidik pejabat pegawai negeri sipil tertentu antara
lain tentang:
a.
Koordinasi dan pengawasan- pasal 7 (2)
b.
Pemberian petunjuk dan bantuan, laporan dimulainya
penyidikan dan penghentian penyidikan serta penyerahan hasil
penyidikan- 107 (1)-(3)
4. Hubungan antara penyidik
dengan penasehat hukum:
a.
Dalam hal penasehat hukum menyalah-gunakan hubungan dan
pembicaraan dengan tersangka- pasal 70 (1)- (4),
b.
Pengawasan penyidik dalam hal penasehat hukum berhubungan
dengan tersangka dan dalam hal penasehat hukum mendampingi
tersangka yang diperiksa oleh penyidik- pasal 71 dan 115.
5. Perlindungan Hak Asasi
Manusia dalam KUHAP yang mengatur tindakan atau perlakuan
aparatur penegak hukum terutama pejabat Polri sehingga tidak
terjadi pelanggaran atas HAM tersangka/ terdakwa:
a.
Code of Condut for law Enforcement Office (1979),
b.
Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of
Crime and Abuse Power (1985),
c.
Basic Principle on Use and Force and Firearms by law
enforcement Officials (1990).
Penyelidik adalah
setiap polisi negara Republik Indonesia untuk melakukan
penyelidikan, mulai dari pangkat yang paling rendah (Bharada)
sampai pangkat yang paling tinggi yaitu Jenderal Polisi (Pasal
1(4), 4 KUHAP).
Penyelidikan adalah
serangkaian tindakan penyelidikan untuk mencari dan menemukan
suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna
menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut
cara yang diatur dalam UU ini (Pasal 1 butir 5).
Tujuan penyelidikan
adalah untuk mengetahui apakah suatu tindak pidana benar telah
terjadi dan siapa pelakunya, hasil penyelidikan mana yang akan
dipergunakan sebagai bahan persiapan untuk melakukan
penindakan.
Rencana penyelidikan
tersebut harus memuat tentang:
1.
Sumber informasi yang perlu dihubungi (orang, instansi,
badan, tempat, dll)
2.
Informasi atau alat bukti apa yang dibutuhkan dari sumber
tersebut (yang bermamfaat untuk pembuktian tindak pidana,
3.
Cara memperoleh informasi atau alat bukti tersebut (terbuka,
tertutup, wawancara, introgasi, pemotretan, dsb.
4.
Petugas pelaksana,
5.
Batas waktu kegiatan.
Karena kewajibannya,
wewenang penyelidik termasuk (Pasal 5):
1.
Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang
adanya tindak pidana;
2.
Mencari keterangan dan barang bukti;
3.
Menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan
serta memeriksa tanda pengenal diri
4.
Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung
jawab;
Atas perintah penyidik
(Pejabat Negara RI, Pejabat Pegawai Negri Sipil tertentu),
dapat juga melakukan tindakan berupa:
1.
Penangkapan, larangan meninggalkan tempat penggeledahan dan
penyitaan,
2.
Pemeriksaan dan penyitaan surat,
3.
Mengambil sidik jari dan memotret seseorang,
4.
Membawa dan menghadap seorang kepada penyidik.
Pasal 9 juga memberi
wewenang kepada penyelidik dan penyidik untuk menyelidiki
peristiwa kejahatan yang terjadi di wilayah dimana ia diangkat
atau dia bertugas, akan tetapi tidak ditutup kemungkinan untuk
mengadakan penyelidikan di wilayah lain dengan terlebih dahulu
mengadakan koordinasi dengan komandan wilayah setempat. Bahkan
dapat mengadakan penyelidikan ke luar negri dengan seizin
negara yang bersangkutan.
Hasil pelaksanaan ini
dilaporkan di dalam Berita Acara Penerimaan Laporan ke
penyidik untuk kemudian dilanjutkan dengan memanggil atau
menangkap orang orang yang terlibat dalam perkara tersebut-
pasal 5(2), dan berisikan:
1.
Sumber data/ keterangan,
2.
Data/ keterangan apa yang diperoleh dari setiap sumber
tersebut,
3.
Barang bukti,
4.
Analisa,
5.
Kesimpulan tentang benar/tidaknya telah terjadi tindak
pidana dan siapa pelakunya,
6.
Saran tentang tindakan2 apa yang perlu diperlakukan dalam
tahap penyidikan selanjutnya.
Suatu peristiwa harus
terlebih dahulu dilakukan penyelidikan, kemudian dilanjutkan
dengan penyidikan.
Penyidikan adalah
serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang
diatur dalam undang-undang ini mencari serta mengumpulkan
bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tidak
pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. (Pasal 1
butir 2).
Perlu diperhatikan pasal
9 (2) UU no14 (1970), bahwa pejabat yang dengan sengaja
melakukan penangkapan, penuntutan atau pemeriksaan di
Pengadilan secara melawan hukum dapat dipidana sebagaima
diatur dalam pasal 422, 429, 430 dan 431 KUHP.
Para petugas diwajibkan
untuk membuat berita acara untuk setiap tindakan yang dibuat
dibawah sumpah jabatan dan ditanda-tangani oleh semua pihak
yang terlibat dalam tindakan tersebut tentang (Pasal 75 (1),
(2), (3)):
1.
Pemeriksaan tersangka;
2.
Penangkapan,
3.
Penahanan,
4.
Penggeledahan,
5.
Pemasukan Rumah,
6.
Penyitaan Benda,
7.
Pemeriksaan Surat,
8.
Pemeriksaan Saksi,
9.
Pemeriksaan di tempat kejadaian,
10.
Pelaksanaan penetapan dan putusan pengadilan,
11.
Pelaksanaan tindakan lain sesuai dengan ketentuan dalam
KUHAP,
Pasal- pasal lain yang
bersangkutan: pasal 102 103, 104, 105 dan 111.
Azas/ hak-hak tersangka
dalam menerima bantuan hukum, diatur dalam pasal 69 s/d 74,
115 (1), 156 KUHAP dan pasal 35-38 UU no 14 (1970).
1.
Penasehat hukum berhak menghubungi tersangka sejak saat
ditangkap menurut tata cara yang ditentukan dalam KUHAP,
2.
Penasehat hukum berhak menghubungi dan berbicara pada
tersangka pd setiap tingkat pemeriksaan dan tiap waktu untuk
kepentingan pembelaannya (Pasal 71 (1)),
3.
Penasehat hukum dapat meminta turunan berita acara
pemeriksaan untuk kepentingan pembelaannya (Pasal 72),
4.
Penasehat hukum berhak menerima dan mengirim surat kepada
tersangka (Pasal 73), dll.
Pengurangan kebebasan
antara penasehat hukum dan tersangka didapat pada pasal 70
(2), (3), (4) dan 71, dilarang setelah perkara dilimpahkan
oleh penuntut umum kepada pengadilan negeri untuk disidangkan.
Untuk informasi leih
lanjut tentang pemberian bantuan hukum, liat Keputusan menteri
Kehakiman M.01 UM 08 10 tahun 1981/ pg 113 Hukum acara pidana
dalam teori dan praktek.
PENYIDIKAN TINDAK PIDANA BIASA
Setelah hasil
penyelidikan telah dilaporkan dan diuraikan secara rinci, maka
apabila ada cukup bukti-bukti permulaan untuk dilakukannya
penyidikan, maka tahap penangganan selanjutnya adalah
melakukan penindakan.
Penindakan adalah
melakukan tindakan-tindakan hukum yang langsung bersinggungan
dengan hak-hak asasi manusia yaitu berupa pembatasan bahkan
berupa ”pelanggaran” terhadap hak-hak asasi manusia untuk
memperjelas segala sesuatu tentang tindak pidana tersebut.
Pasal 7 KUHAP:
a. Menerima laporan atau pengaduan dari
seseorang tentang adanya tindak pidana:
Laporan adalah tindakan seseorang untuk
memberitahukan kepada penyelidik atau penyidik bahwa suatu
tindakan pidana telah terjadi atau dilakukan oleh seseorang
dimana tindakan tersebut harus dituntut. Laporan tidak dapat
ditarik kembali karena apabila ditarik kembali, hal itu
merupakan laporan palsu, maka bagi si pelapor diancam dengan
pidana. Namun, barang siapa mengetahui telah terjadinya suatu
tindakan pidana, tapi tidak melaporkannya, dapat dihukum
dengan hukuman penjara selama-lamanya 1 tahun, 4 bulan- Pasal
164 KUHAP.
Pengaduan adalah laporan khusus mengenai
tindakan pidana aduan, tindak pidana mana jika tidak ada
permintaan dari orang yang kena perkara tidak bisa diadakan
penuntutan. Dapat ditarik dalam waktu 3 bulan.
b. Melakukan tindakan pertama pada saat
ditempat kejadian:
Setelah menerima laporan atau pengaduan dari
seseorang maka penyidik mengecek kebenaran laporan atau
pengaduan tersebut dengan memeriksa di tempat kejadian, yaitu
dengan mencari dan mengumpulkan bahan bahan keterangan dan
bukti yang dapat digunakan untuk melakukan kejahatan,
bekas-bekas tanda penganiayaan, pembunuhan atau tetesan darah
korban selanjutnya difoto atau direkam, keterangan para saksi
dan akhirnya disusun kesimpulan sementara.
c.
Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda
pengenal diri tersangka,
d. Melakukan penangkapan, penahanan,
penggeledahan, dan penyitaan,
Penangkapan tidak dapat dilakukan secara
sewenang-wenang, karena hal itu melanggar hak asasi manusia.
Untuk menangkap seseorang, maka penyidik, penuntut umum atau
hakim yang bersangkutan harus mengeluarkan surat perintah
penangkapan disertai alasan2 penangkapan, jati diri yang akan
ditangkap dan uraian singkat sifat perkara kejahatan yang
dipersangkakan.
Perintah penangkapan baru dikeluarkan kalau
sudah ada dugaan keras telah terjadi tindak pidana disertai
pula bukti permulaan yang cukup (diukur berdasarkan
kewajaran). Ada juga 2 syarat-syarat untuk melakukan penahan:
1.
Syarat subyektif:
Apabila tersangka mau melarikan diri, merusak/
menghilangkan barang bukti dan
mengulangi melakukan tindakan pidana.
2. Syarat obyektif:
Tindak pidana tersebut diancam dengan pidana
penjara 5 tahun atau lebih,
Tindak pidana sebagaimana diatur pasal 21 ayat
(4) (b) KUHAP, yaitu ancaman hukumannya kurang dari 5 tahun,
meliputi pasal pasal diluar KUHAP seperti pasal 25, 26
Ordonnansi Bea, pasal 1,2,4,UU tindak Pidana Imigrasi dan
pasal 36 ayat (7), 41,42,42,47 dan 48 UU tentang Narkotika,
dll.
Tampa surat perintah penangkapan, tersangka
dapat menolak petugas yang bersangkutan. Dalam hal tertangkap
tangan, maka penangkapan dilakukan tampa surat perintah, tapi
penyidik harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang
bukti yang ada kepada penyidik pembantu terdekat- pasal 18.
Penahanan diatur dalam pasal 20, 24, 25, 26,
27, 28, 29. Apabila penahanan ternyata tidak sah, tersangka
atau terdakwa berhak meminta ganti rugi sesuai dengan
ketentuan yang dimaksud dalam pasal 95 dan 96 KUHAP. Tetapi
perlu diingat, bahwa ada suatu perkecualian dari jangka waktu
penahanan yang diberikan oleh setiap pejabat yang disebutkan
dalam pasal 24 s/d 28, maka penahanan terhadap tersangka dapat
diperpanjang lagi dengan dasar- pasal 29:
a.
Tersangka atau terdakwa menderita gangguan fisik
atau mental yang berat;
b.
Perkara yang sedang diperiksa, diancam dengan
hukuman penjara 9 tahun atau lebih.
Tujuan penahanan
adalah untuk memudahkan pemerikasaan, maka kesempatan
tersangka untuk melarikan diri atau mempengaruhi saksi yang
mengetahui perbuatan tersangka dapat dicegah dan akan lebih
mudah untuk penuntut umum menghadirkannya di dalam
persidangan.
Tindak pidana yang dapat dilakukan penahanan
(KUHP):
-
Pasal 282 (3)- pelanggaran kesusilaan atau
pornografi sebagai mata pencaharian,
-
Pasal 296- persundalan atau prostitusi,
-
Pasal 335 (1)- tindak pidana paksaan dengan
perbuatan tak menyenangkan,
-
Pasal 353 (1)- penganiayaan yang direncanakan
terlebih dahulu,
-
Pasal 372- penggelapan,
-
Pasal 378- penipuan,
-
Pasal 379 (a)- penipuan dalam hal jual beli
-
Pasal 453- menghentikan pekerjaan
-
Pasal 454- desersi,
-
Pasal 455- desersi,
-
Pasal 459- tindak pidana insubordinasi,
-
Pasal 480- penadahan,
-
Pasal 506- germo,
-
Pasal 25 dan 26 LN 1931 No. 471 pelanggaran
terhadap ordonansi bea cukai.
-
Pasal 36 (7), pasal 41, 42, 43, 47, 48, UU no 9
(1976) LN No 37, TLN No 3086, pelanggaran terhadap Undang-
Undang Narkotika.
-
Semua tindak pidana yang diancam dengan penjara
5 tahun atau lebih.
Menurut pasal 123, tersangka, penasehat
hukum atau keluarganya dapat mengajukan permohonan untuk
dikeluarkan dari tahanan.
Jenis penahanan- pasal 22:
a.
Penahanan Rumah Tahanan Negara,
b.
Penahanan Rumah,
c.
Penahanan Kota.
Pengalihan penahanan- pasal 23:
Pengalihan jenis penahanan dinyatakan secara
tersendiri dengan surat perintah dari penyidik atau penuntut
umum atau penetapan hakim yang tembusannya diberikan kepada
tersangka atau terdakwa serta keluarganya dan instansi yang
berkepanjangan.
Penangguhan
penahanan- pasal 31:
Dapat dilakukan dengan jaminan orang atau
dengan jaminan uang sebagaimana diatur dalam PP No27 (1983)
pada pasal 35 dan 36.
PENGELEDAHAN
KUHAP yang mengatur tentang pengeledahan:
pasal 5 (1) (b),32,33,34,35, 36,37,75,125,126. Tujuannya
adalah untuk mencari bukti2. Harus ada surat
izin dari ketua pengadilan negeri setempat
kecuali dalam keadaan yang sangat mendesak. Seterusnya, berita
acara pengeledahan harus dibuat oleh pihak yang berwajib.
PENYITAAN
BARANG- BARANG (38- 46)
Alat-alat atau barang-barang yang dipakai
untuk melakukan kejahatan perlu diadakan penyitaan atau
diamankan untuk memberikan keyakinan kepada hakim bahwa
tersangkalah yang telah melakukan tindak pidana itu.
Apabila penyidik akan menyita suatu barang,
maka barang yang akan disita itu terlebih dahulu harus
diperlihatkan kepada pemiliknya atau keluarganya untuk
dimintai keterangan, disaksikan oleh pejabat setempat (RT, RW
atau Kepala Desa) dengan 2 orang saksi lainnya.
Apabila perkaranya sudah diputus, maka benda
itu dapat dikembalikan, kecuali jika menurut putusan tersebut,
benda itu dirampas untuk negara atau dimusnahkan atau
digunakan sebgai barang bukti dalam perkara lain.
e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan
surat,
Penyidik dapat menyita surat yang dikirim
melalui kantor pos, dengan seizin ketua pengadilan negeri.
Pasal- pasal yang mengaturnya adalah pasal 132 (2) s/d 5,
pasal 47 (1), 48.
f. Mengambil sidik jari dan memotret
seseorang,
Untuk melengkapi dokumen kepolisian, maka
penyidik perlu mengambil sidik jari dan memotret tersangka.
Hal ini untuk memudahkan petugas kepolisian untuk mencari
identitas tersangka apabila ia mengulangi tindak pidana lagi.
g. Memanggil orang untuk didengar dan
diperiksa sebagai tersangka atau saksi
Dari tersangka dan saksi, akan diperoleh
keterangan- keterangan yang akan dapat mengungkapkan segala
sesuatu tentang tindak pidana yang terjadi. Kesehatan saksi
atau tersangka juga penting; dalam keadaan sakit tidak dapat
diperiksa. Penyidik juga harus menghindarkan
pertanyaan-pertanyaan yang menimbulkan perdebatan dan yang
menyinggung perasaan dan membangkitkan rasa emosional antara
penyidik dengan tersangka atau saksi.
Ketentuan2 yang harus diperhatikan oleh
penyidik terhadap tersangka termasuk pasal 1 bab 1 (ketentuan
umum), Bab VI- 50-68, 114, 115, 133, 422, dan hak hak
tersangka yang diatur UU no 14 (1970), pasal 5, 28, 50,54, 55,
56, diantaranya:
1.
asas persamaan di muka umum,
2.
asas perintah tertulis dari pejabat yang berwenang,
3.
asas praduga tidak bersalah,
4.
asas perberhentian ganti kerugian dan rehabilitasi,
5.
asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan,
6.
asas peradilan yang bebas dan jujur serta tidak memihak,
7.
asas memperoleh bantuan hukum seluas-luasnya (liat diatas),
8.
asas pemberitahukan dakwaan dan dasar dakwaan,
9.
asas hadirnya dakwaan,
10.
asas pemeriksaan di muka umum,
11.
asas pengawasan dan pelaksanaan putusan,
12.
asas opportunitas,
13.
asas kejaksaan sebagai penuntut tunggal dan kepolisian
sebagai penyidik tunggal,
14.
asas pra peradilan,
15.
asas pemeriksaan langsung,
16.
asas personalitas aktif,
17.
asas personalitas pasif.
Pemeriksaan permulaan (184 (1) KUHAP) harus
sudah dapat mengungkapkan perbuatan tersangka:
- Tindak
pidana apa yang telah dilakukan oleh tersangka,
- Apa
yang menjadi modus operandinya untuk melakukan perbuatan
tersebut,
- Siapa
saja yang terlibat dalam perbuatan tersebut, serta peranan
masing masing mereka yang terlihat,
- Dalam
rangka ini pula dapat menentukan apakah barang bukti yang
telah disita mempunyai peranan atau tidak.
Pembatasan kebebasan tersangka dengan
penasehat hukumnya: pasal 71.
Terhadap saksi saksi:
1.
Apakah seorang saksi mempunyai hubungan keluarga
atau kerja dengan tersangka?
2.
Apabila ada perbedaan keterangan antara 1 saksi
dengan yang lainnya, supaya para saksi itu diprtemukan satu
dengan yang lain.
Liat pasal2 tentang saksi: 117 (1)- tampa
tekanan, 116 (1)- tidak disumpah kecuali ada cukup alasan.
h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan
dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara,
Sebelum memberikan keterangannya maka ahli
tersebut mengangkat sumpah atau mengucapkan janji di muka
penyidik bahwa ia akan memberikan keterangan sebaik baiknya
kecuali bila disebabkan karena harta serta martabat, pekerja
atau jabatannya yang tidak mewajibkan ia menyimpan rahasia
dapat menolak untuk memberikan keterangan yang diminta. Hal
ini supaya para ahli tidak perlu didatangkan di sidang.
Pasal2 yang berhubungan dengan saksi ahli:
pasal 132 (2) (5), 133 (1), 133 (2), 133 (3), 135.
i. Mengadakan penghentian penyidikan;
Apabila tidak terdapat bukti yang cukup atau
peristiwa tersebut ternyata bukan perkara pidana, atau
penyidikan diberhentikan demi hukum, maka penyidik harus
memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau
keluarganya dan pelapor agar menghindarkan kemungkinan
diajukannya pra peradilan. (Keputusan Mentri Kehakiman RI no M
14-PW 07,03 tahun 1983 tenntang tambahan pedoman pelaksanaan
KUHAP butir 11. Apabila perkara cukup memenuhi syarat syarat
sesuai dengan ketentuan, tibalah saatnya untuk melimpahkan
perkara tersebut kepada pengadilan Negeri yang berwenang.
j. Mengadakan tindakan lain menurut
hukum yang bertanggung jawab.
Hubungan penyidik dan penuntut umum:
1.
Penyidik menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum
(pasal 8 (14) a, 110 (1),
2.
Penuntut umum memberikan perpanjangan penahanan atas
permintaan penyidik- pasal 14 c, 24 (2),
3.
Dalam hal penuntut umum berpendapat hasil penyidikan belum
lengkap, ia segera mengembalikan kepada penyidik disertai
petunjuk dan penyidik wajib melengkapinya dengan melakukan
penyidikan tambahan- pasal 14 b, 110 (2)(3),
4.
Dalam hal penyidik mulai melakukan penyidikan atau
pemeriksaan memberitahukan hal itu kepada penuntut umum-
pasal 119 (1),
5.
Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan memberitahukan
hal itu kepada penuntut umum- pasal 119 (2), sebaliknya
dalam hal penuntut umum menghentikan penuntutan ia
memberikan turunan surat ketetapan kepada penyidik- pasal
140 (2) c,
6.
Penuntut umum memberikan turunan surat pelimpahan perkara,
surat dakwaan kepada penyidik- pasal 143 (4), demikian pula
dalam hal penuntut umum, mengubah surat dakwaan, ia
memberikan turunan perubahan surat dakwaan itu kepada
penyidik- pasal 144 (3),
7.
Dalam acara pemeriksaan cepat, penyidik atas kuasa penuntut
umum (demi hukum), melimpahkan berkas perkara dan
menghadapkan terdakwa, saksi atau ahli, juru bahasa dan
barang bukti pada sidang pengadilan
8.
Konsekwensi dari angka 7 diatas, penyidik memberitahukan
hari, sidang kepada terdakwa- pasal 207 (1) dan menyampaikan
amar putusan kepada terpidana- pasal 214 (3).
Hubungan Penyidikan dengan Hakim/ Pengadilan:
1.
Ketua Pengadilan Negeri dengan keputusannya
memberikan perpanjangan penahanan sebagaimana dimaksud pasal
29 atas permintaan penyidik,
2.
Atas permintaan penyidik, Ketua Pengadilan
negeri memberikan surat izin penggeledahan rumah atau
penyitaan dan atausurat izin khusus pemeriksaan surat- pasal
33 (1), 38 (1), 43 dan 47 (1)
3. Penyidik wajib segera melaporkan kepada ketua
pengadilan negeri atas pelaksanaan penggeledahan rumah,
penyitaan yang dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dan
mendesak sebagaimana dimaksud pasal 34 (2) dan 38 (2).
4.
Penyidik memberikan kepada Panitera bukti bahwa
surat amar putusan telah diserahkan
kepada terpidana- pasal
214 (3),
5.
Panitera memberitahukan kepada penyidik tentang
adanya perlawanan dari terdakwa- pasal 214 (7).
Penyerahan Perkara ke Pengadilan
Definisinya adalah
peristiwa beralihnya pimpinan dan pejabat yang berwenang
mengadakan pemeriksaan pendahuluan/ penuntutan kepada pejabat
yang berwenang untuk menentukan nasib dari perkara pidana itu-
apakah dia bersalah atau tidak bersalah.
Dalam rangka
mempersiapkan tindakan penuntutan penuntut umum berwenang
untuk:
1.
Menerima pemberitahuan dari penyidik dalam hal penyidik
telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang
merupakan tindak pidana (pasal 109 ayat 1).
2.
Menerima berkas perkara dari penyidik dalam tahap pertama
(pasal 8 ayat (3) (a) untuk dipelajari dan diteliti.
3.
Mengadakan prapenuntutan (pasal 14 (b) dengan memperhatikan
ketentuan pasal 110 (3), (4) dan pasal 138.
4.
Memberikan perpanjangan penahanan (pasal 24 (2), 21(2), 25,
29), melakukan penahanan rumah - pasal 22(2), penahanan kota
- pasal 22 (3) dan mengalihkan jenis penahanan - pasal 23.
5.
Atas permintaan tersangka atau terdakwa mengadakan
penangguhan penahanan serta mencabut penangguhan penahanan
dalam hal tersangka atau terdakwa melanggar syarat yang
ditentukan- pasal 31.
6.
Mengadakan penjualan lelang benda sitaan yang lekas rusak
atau membahayakan karena tidak mungkin untuk disimpan sampai
putusan pengadilan terhadap perkara itu memperoleh kekuatan
hukum yang tetap atau mengamankannya dengan disaksikan oleh
tersangka atau kuasanya- pasal 45 (1).
7.
Melarang atau mengurangi kebebasan hubungan antara penasehat
hukum dengan tersangka sebagai akibat disalah gunakan
haknya- pasal 70 (4), mengawasi hubungan antara penasehat
hukum dengan tersangka tampa mendengar isi pembicaraan-
pasal 71 (1) dan dalam kejahatan terhadap keamanan negara
penuntut umum dapat mendengar isi pembicaraan- pasal 71 (2).
8.
Meminta dilakukan praperadilan kepada ketua pengadilan
negeri untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian
penyidikan oleh penyidik- pasal 80,
9.
Dalam perkara koneksitas, karena perkara pidana itu harus
diadili oleh pengadilan dalam lingkunan peradilan umum, maka
penuntut umum mnerima penyerahan perkara dari oditur militer
dan selanjutnya kepada pengadilan yang berwenang- pasal
91(1).
10.
Menentukan sikap apakah suatu berkas telah memenuhi
persyaratan atau tidak untuk dilimpahkan ke pengadilan-
pasal 139.
11.
Apabila penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penidikan
dapat dilakukan penuntutan, maka dalam waktu secepatnya ia
membuat surat dakwaan- pasal 140 (1),
12.
Membuat surat penetapan
penghentian penuntutan- pasal 140(2) huruf a, karena:
13. Tidak terdapat cukup bukti,
14.
Peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana,
15.
Perkara ditutup demi hukum.
16.
Melanjutkan penuntutan terhadap tersangka sebagaimana
tersebut pada angka 12 karena terdapat alasan baru- pasal
140 (2) (d).
17.
Mengadakan penggabunggan perkara- pasal 141,
18.
Mengadakan pemecahan penuntutan terhadap satu berkas perkara
yang memuat beberapa tindak pidana yang memuat beberapa
tindak pidana yang diberlakukan beberapa orang tersangka-
pasal 142,
19.
Melimpahkan perkara ke pengadilan negeri dengan diserrai
surat dakwaan- pasal 143(2),
20.
Untuk maksud penyempurnaan atau tidak melanjutkan
penuntutan, penuntut umu dapat mengubah surat dakwaan
sebelum pengadilan menetapkan hari sidang atau
selambat-lambatnya 7 hari sebelum sidang dimulai- pasal 144.
Tampa surat dakwaan yang
dibuat Jaksa (Pasal 14 (d)), maka terdakwa tidak dapat
diadili. Syarat- syarat surat dakwaan:
1.
Syarat formil:
harus dibuat nama lengkap, umur, tempat tinggal, tempat
kelahiran, pekerjaan, dll,
2.
Syarat materieel:
berisi perbuatan-perbuatan, tempat ( agar kekuasaan
pengadilan yang bersangkutan tau dimana kewenangannya untuk
mengadili perkara tersebut) dan waktu tindak pidana itu
dilakukan dan segala keadaan atau masalah yang mendahului,
menyertai atau mengikuti perbuatan itu yang dapat
memberatkan atau meringankan terdakwa yang harus disusun
sedemikian rupa, sehingga perumusannya memuat segala unsur
tindak pidana yang dikenakannya atau yang didakwakan. Surat
dakwaan ini harus terang, detailed dan jelas, dapat
dimengerti oleh terdakwa supaya dia dapat melakukan pembelan
yg efektip.
Beberapa cara menyusun
surat dakwaan:
1.
Sistem kumulatip:
bila terdakwa melakukan beberapa tindak pidana yang satu
sama lain tidak ada hubungannya, misalnya ke I, II, II...
A didakwa:
Ke I- tindak pidana pencurian...
Ke II- tindak pidana penggelapan...
Ke III- tindak pidana penganiayaan...
2.
Sistem Alternatip:
dalam sistem ini juga ada beberapa tindak pidana yang
dilakukannya, tapi disusun sedemikian rupa, hingga pada
akhirnya hanya satu dakwaannya saja dapat dibuktikan yang
mana saja yang lebih mudah di dalam sidang.
A didakwa:
Pencurian atau penggelapan atau penganiayaan
atau dan selanjutnya....
3.
Sistem Subsidair:
pada umunya cara menyusunnya adalah dakwaan yang paling
berat diuraikan terlebih dahulu.
A didakwa:
Primair
: Pencurian
Subsidair : Penggelapan
Lebih subsidair :
Penadahan
Lebih Subsidair lagi :
....
Tetapi, penyusun dapat
mempergunakan sistem-sistem tersebut dan tidak terikat dalam
suatu pokok2 tertentu.
Pengubahan surat
dakwaan:
Penuntut Umum hanya
diperbolehkan mengubah surat dakwaan sebelum ditetapkannya
hari sidang perkara yang bersangkutan, 7 hari sebelum hari
sidang dan ini harus diberitakan kepada terdakwa, penasehat
hukumnya dan penyidik. Setelah ditetapkannya hari sidang
segala bentuk perubahan atas surat dakwaan tidak diperkenankan
KUHAP pasal 144.
Pembuktian Kesalahan
Terdakwa (KUHAP 183 s/d 202, UU Pokok Kehakiman 6 (2)):
- Hakim
tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorng kecuali apabila
dengan sekurang kurangnya 2 alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar beanr terjadi dan
bahwa terdakwalah yang melakukan kesalahan:
o Keterangan
saksi,
o Keterangan
ahli,
o Surat;
pasal 187, berita acara, surat authentik seperti akte notaris,
akte yang dibuat jurusita, atau oleh kantor catatan sipil,
surat keputusan hakim, akte-akte yang dibuat dibawah tangan
seperti surat sewa-menyewa, surat hutang-piutang wessel, dsb,
surat-surat yang dapat dilegalisasi dihadapan pejabat yang
berwenang, surat biasa seperto surat yang dibut seseorang
ketika yang bersangkutan akan melakukan bunuh diri, dsb.
o Petujuk-
petunjuk; pasal 188, adalah perbuatan, kejadian atau keadaan,
yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang
lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan
bahwa telah terjadi suatu tindakan pidana dan siapa pelakunya,
seperti yang dibeberkan di atas.
o Keterangan
terdakwa.
- Pembuktian
harus dilaksanakan untuk mencegah jangan sampai menjatuhkan
hukuman kepada orang yang tidak bersalah.
Penggabungan perkara
menjadi satu:
Dilakukan demi
kesederhanaan dalam menyelesaikan perkara apabila pada waktu
yang sama atau hampir bersamaan ia menerima beberapa berkas
perkara beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh seorang
yang sama dan kepentingan pemeriksaan tidak menjadikan
halangan terhadap penggabungannya, dll (141 KUHAP):
Pemisahan perkara:
Apabila terdapat dalam 1
berkas perkara berupa perbuatan melanggar hukum yang dilakukan
oleh lebih dari 1 orang dan pula tidak ada keharusan untuk
mengumpulkan beberapa berkas perkara menjadi 1, maka perkara
itu dapat dipecah atau dipisahkan sehingga perkara itu menjadi
beberapa berkas perkara dan dengan sendirinya untuk masing
masing berkas harus dibuat surat dakwaannya. Juga pada waktudi
dalam 1 perkara, seorang terdakwa tidak dibenarkan memberikan
keterangan2 yang memberatkan terdakwa lainnya.
Putusan Dalam Pemeriksaan Biasa
Jika pemeriksaan dianggap
selesai, hakim ketua sidang menyatakan bahwa pemeriksaan
dinyatakan tertutup, dengan ketentuan dapat dibuka kembali,
baik atas kewenangan hakim ketua sidang karena jabatannya,
maupun atas permintaan penuntut umum atau terdakwa atau
penasehat hukum dengan memberikan alasannya.
Sesudah itu hakim
mengadakan musyawarah terakhir untuk mengambil keputusan dan
apabila perlu musyawarah itu diadakan setelah terdakwa, saksi,
penasehat hukum, penuntut umum dan hadirin meninggalkan ruang
sidang:
1.
Apabila perbuatan yang didakwakan tidak terbukti secara
meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas;
2.
Apabila terbukti, tetapi
perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka
terdakwa diputus bebas dari segala tuntutan hukuman:
a.
Orang gila- pasal 44,
b.
Kejadian terjadi akibat yang diluar kemampuan seseorang,
c.
Mempertahankan diri dari orang lain,
d.
Karena menjalankan perintah jabatan seperti seorang algojo
atau anggota regu tembak dalam pelaksanaan hukuman mati.
3.
Apabila terdakwa bersalah
melakukan tindak pidana yang dilakukannya, maka pengadilan
menjatuhkan hukuman sebagaimana diatur oleh pasal 193 (1).
Hal ini diikuti pasal 196- hak hak terdakwa:
a.
Hak segera menerima atau segera menolak
putusan;
b.
Hak mempelajari putusan sebelum menyatakan
menerima atau menolak putusan, dalam tenggang
waktu yang ditentukan oleh UU ini,
c.
Hak meminta penangguhan pelaksanaan putusan
dalam tenggang waktu yang ditentukan
oleh UU untuk dapat mengajukan grasi, dalam
hal ia menerima putusan;
d.
Hak meminta diperiksa perkaranya dalam tingkat
banding dalam tenggang waktu yang
ditentukan UU ini, dalam hal ia menolak
putusan,
e.
Hak mencabut pernyataan sebagaimana dimaksud
huruf a dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh UU ini.
Pasal 197, perhatikan apa
saja yang harus dimuat didalam suatu surat putusan yang
apabila tidak dipenuhi ketentuannya, mengakibatkan putusan
batal demi hukum. Dan surat ini harus ditanda-tangani oleh
hakim dan panitera seketika setelah putusan itu diucapkan.
Perkara ditutup demi hukum
Apabila perkara
dikesampingkan demi kepentingan umum oleh Jaksa Agung,
penuntut umum tidak berwenang untuk mengadakan penuntutan
terhadap tersangka dalam perkara tersebut dikemudian hari,
artinya terhadap perkara yang telah dikesampingkan demi
kepentingan umum tersebut.
Namun, tidak terbuka
kemungkinan bagi penuntut umum untuk melakukan penuntutan
terhadap tersangka apabila kemudian ada alasan baru- pasal140
(2)(d)
Wewenang Penuntut Umum
dalam melaksanakan putusan pengadilan- pasal 14(j), 270 yang
telah memperoleh hukum tetap dan panitera mengirimkan surat
kepada jaksa- 197 (3).
Hukuman- hukuman
pokok:
1.
hukuman mati, diawasi oleh jaksa secara tuntas sampai
terpidana ditembak mati
2.
hukuman penjara, dapt dilakukan berdekatan dengan rumah
tempat tingal keluarga terpidana setelah mendapat izin dari
DIRJEN PEMASYARAKATAN di Jkt.
3.
hukuman kurungan, yang biasanya diberikan kepada orang orang
yang pernah berjasa pada negara dan patut dihormati.
4.
hukuman denda.
Hukuman- hukuman
tambahan:
1.
pencabutan hak tertentu, pelepasan bersyarat- pasal 15 (3),
pelepasan hukuman bersyarat- pasal 16 (1), (2) KUHAP- jaksa
wajib meneruskan kepada instansi yang berwenang dengan amar
putusan dilampirkan.
2.
perampasan barang yang tertentu, (disita Jaksa),
dimusnahkan, dilelang untk kas negara, dan apabila dalam
keadaan tidak disita dapat diganti dengan kurungan-pasal 41
(1) KUHAP.
3.
pengumuman keputusan hakim yang dinyatakan di dalam sidang
terbuka untk umum di pengadilan, ditempel dipapan pengumuman
pengadilan setempat dan di media masa yaitu koran-koran.
Jika terpidana dipidana
penjara atau kurungan dan kemudian dijatuhi pidana yang
sejenis sebelum ia menjalani pidana yang dijatuhkan terdahulu,
maka pidana itu dijalankan berturut-turut, dimulai dengan
pidana yang dijatuhkan lebih dahulu- pasal 272 KUHAP.
Apabila lebih dari satu
orang dipidana dalam satu perkara, maka biaya perkara atau
diharuskan mengganti kerugian, maka dibebankan kepada mereka
bersama-sama secara berimbang- pasal 275 KUHAP.
|
|
|