Senin, 10 Oktober 2011

HAM DAN TINJAUANNYA

I. PENDAHULUAN
 Tidak jarang bahwasanya dalam berkehidupan bermasyarakat, terjadi hal-hal yang tidak diinginkan yang mengakibatkan kerugian terhadap diri sendiri ataupun orang lain. Kemungkinan kerugian- kerugian ini disebabkan oleh pelanggaran- pelanggaran hukum atau tidak tahunya seseorang akan hak- hak dan kewajibannya sebagai seorang warga negara. Lebih parahnya, setelah menjadi seorang korban pelanggaran hukum, kemudian, tertipu pula oleh pengacaranya dalam soal biaya. Sudah jatuh, malah tertimpa tangga.
Maka dari itu, hernapardedelawyer.cjb.net memberikan beberapa tips dalam membuat keputusan untuk berurusan dengan para penegak hukum dan pengacara. Website ini adalah hanya sebagai sebuah wadah sumbangan jasa kepada masyarakat umum Indonesia. Hal ini bertujuan untuk menyadarkan masyarakat akan hak-hak dan kewajibannya sebagai warga negara yang akhirnya dapat menuntut integritas para pengacara dan para penegak hukum di negara tercinta ini.  
Sebagai contoh kasus, banyak warga buta akan hukum- hukum yang berlangsung di Indonesia; pelanggaran lalu lintas, perkosaan, pelecehan seksual, penipuan, pelanggaran hak cipta hanyalah dikira sebuah kejadian normal sehari-hari yang dapat terjadi kepada siapa saja. Padahal, seseorang yang menderita kerugian akibat pelanggaran- pelanggaran hukum seperti diatas dapat menuntut hak-haknya karena dijamin oleh negara lewat hukum. Apabila kasus- kasus ini tidak ditanggani secara baik oleh semua pihak, (termasuk korban, polisi, penyidik, penuntut umum, para panitera, hakim, dan sebagainya), hukum di negara ini tidak akan bertumbuh sesuai dengan perkembangan zaman, dan dapat mengakibatkan berkembangnya hukum rimba.   
Kedua, mahalnya biaya konsultasi dapat juga membuat penegakan hukum terabaikan. Belum lagi banyak pengacara menjadikan hukum sebagai komoditas politik, untuk kepentingan kekuasaan, kepentingan uang yang pada akhirnya hukum itu sendiri diperjual- belikan. 
Jumpa pers dijadikan ajang pembelaan klien2 mereka, dengan berbagai dalil, fakta dan bukti- bukti dikemas dengan bahasa dan istilah hukum yang pelik dan rumit dalam rangka membangun sebuah alibi bahwa klien mereka tidak bersalah. Dan lazim, tersiar berita sukses pengacara2 yang terkenal karena kegigihan2 mereka ini seperti bagaimana mereka dapat meraih milyaran rupiah dari honor atas memenangkan suatu perkara, mempunyai koleksi rumah, mobil mewah, dll yang menyebabkan pandangan dalam masyarakat kita bahwa pembelaan untuk sebuah suatu kebenaran adalah suatu yang mahal, mewah dan sulit dijangkau masyarakat awam.
Maka dari itu, beberapa halaman rangkuman yang diberikan di dalam website ini dibuat untuk masyarakat yang bermasalah dengan hukum dan ingin mengetahui prosedur hukum yang berlaku di Indonesia secara umum.
Herna Jacqueline Pardede                                                                                                Konsultan Hukum

I.I RENUNGAN KATA PENGANTAR
DIMANA SAJA DI DUNIA sejak dulu selalu ada ambivalensi terhadap profesi advokat. Di satu pihak advokat dianggap orang yang suka mempermainkan hukum dan bikin perkara, karena litigasi salah satu pekerjaannya. Di lain pihak, siapa lagi yang bisa membela atau menolong orang awam yang sedang berurusan dengan negara atau bertentangan dengan warga lain? Tapi seperti lain profesi, atau lain kalangan apapun, tentu saja ada advokat yang baik dan yang kurang atau malah buruk. Bukan itu yang penting atau perlu dipikirkan dalam dunia yang serba kurang sempurna ini Yang menarik tentang profesi advokat dan perlu diperhatikan adalah peranannya sebagai spesialis dalam hubungan antara warga negara dan lembaga-lembaga pemerintah, antara masyarakat dan negara. Dalam negara modern, tanpa orang yang mengisi fungsi itu secara profesional, masyarakat lebih gampang lagi dipermainkan, diperas, dan ditindas oleh yang berkuasa. 
Malah dapat dikatakan, bahwa dalam negara pra-modern ada semacam pengakuan atas keperluan spesialis hukum swasta yang bisa membantu orang yang terpaksa menghadapi penguasa negara atau lain warga. Di Yunani dulu, umpamanya advokat dilarang, tapi setiap orang yang berperkara diizinkan cari bantuan seorang dari keluarga atau kalangan teman yang tahu sedikit tentang proses hukum, yang dengan sendirinya berevolusi menjadi semacam profesi advokat. Atau di Indonesia dulu pada zaman kolonial, tidak ada advokat profesional berbangsa Indonesia sampai 1920-an, tapi pada abad ke-19 muncul pokrol bambu, yang kemungkinan besar sudah ada sejenisnya sebelum kedatangan Belanda. Dengan satu atau lain bentuk, keberadaan advokat tidak dapat dielakkan. Dari sudut lain dapat dikatakan bahwa dalam setiap masyarakat, profesi advokat merupakan salah satu unsur sine qua non untuk menjamin keseimbangan sedikit antara lembaga-lembaga negara dan warga negara biasa.
Berbeda dari profesi lain, hampir di mana saja para advokat, sebagai profesi, terbeban fungsi yang bercampur aduk. Ada advokat tentunya yang hanya mengurus kontrak di samping notaris, atau spesialis dalam perkara pidana dan sebagainya. Tetapi profesi advokat sering menjadi sumber macam-macam pelayanan istimewa yang diperlukan dalam masyarakat. Umpamanya, justru karena profesi advokat mengerti struktur, lembaga, dan aturan negara dan bertugas untuk mewakili warga negara kalau bertentangan dengan negara atau warga negara lain, banyak advokat biasa saja, dengan sendirinya, muncul dalam politik, urusan sosial, pendidikan, perjuangan perubahan politik, ekonomi, atau sosial, dan sering masuk sebagai pimpinan gerakan reformasi. Bukan hanya advokat tentunya, tapi profesi itu menonjol dalam sejarah negara modern sebagai sumber ide dan pejuang modernisasi, keadilan, hak asasi manusia, konstitusionalisme, dan banyak lagi. (Dan tentu saja dalam pimpinan anti perubahan, anti-reformasi, dan seterusnya juga.)
Begitu juga di Indonesia, di mana sejarah profesi advokat sangat menarik dan mengesankan. Coba pikirkan kualitas dan sumbangan para advokat yang menjadi pemimpin politik dan sosial sejak 1923, waktu advokat Indonesia pertama, Mr Besar Martokoesoemo, membuka kantornya di Tegal Selain Pak Besar sendiri, ada Sartono, Ali Sastroamidjojo, Wilopo, Muh Roem, Ko Tjay Sing, Muh Yamin, Iskaq Tjokrohadisuryo, Lukman Wiriadinata, Suardi Tasrif, Ani Abbas Manoppo, Yap Thiam Hien, dan Iain-lain dari generasi itu yang aktif sebelum dan sesudah kemerdekaaan sampai 1960-an dan beberapa di antaranya sampai 1980-an. Dan ada penerus mereka itu yang masih aktif sekarang. Dari generasi tertua advokat Indonesia ada banyak (mungkin sampai kebanyakan) yang turut aktif dalam gerakan kemerdekaan, menjadi pemimpin partai, memperjuangkan negara hukum dan hak asasi manusia, serta sering mengorbankan din untuk membela prinsip. Pemerintahan parlementer di Indonesia yang bisa tahan hanya tujuh tahun, 1950 sampai permulaan 1957 (dan yang perlu dipelajari kembali karena sejarahnya dikelabukan sejak 1960) untuk sebagian merupakan dptaan para advokat Pada zaman itu, walau ada kesulitan yang luar biasa sesudah revolusi, kemampuan dan integritas peradilan—termasuk pengadilan, kejaksaan, polisi—cukup baik dan dapat dipercaya. Proses hukum terjamin efektif, antara lain karena ada pemimpin dalam hampir semua partai besar yang berasal dari kalangan advokat dan merasa terikat pada prinsip-prinsip hukum. Zaman itu tidak gampang tentunya, tapi kalau dibandingkan dengan zaman Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru, era parlementer masih lebih unggul dari sudut pertanggungjawaban pimpinan politik, efektivitas lembaga-lembaga hukum, dan keamanan masyarakat. Sumbangan para advokat, walaupun sedikit sekali jumlahnya pada waktu itu, perlu dihormati. Sebagian dari sejarahnya dapat dibaca dalam buku ini.
Hanya saja, akibatnya ombang-ambing politik, sebagai profesi para advokat Indonesia mengalami perubahan yang membingungkan. Kalau mereka biasa aktif dalam politik pada zaman parlementer, dan dihormati oleh hakim dan jaksa sebagai unsur biasa dalam sistem peradilan. Pada zaman Demokrasi Terpimpin sebaliknya. Mereka mulai dijauhkan dari lembaga formal, diisolasikan sebagai unsur swasta, dan sering diperlakukan seperti musuh oleh hakim dan jaksa. Profesi mulai stagnan, jumlahnya sampai 1966 tidak lebih dari 200-250 orang di seluruh negara. Pada zaman itu juga mulai ada advokat yang merasa terpaksa (atau dengan senang hati) menyesuaikan diri pada arus korupsinya mafia peradilan yang mulai merajalela di lembaga peradilan. Yang menarik bukan bahwa advokat ikut mafia, melainkan bahwa ada banyak advokat yang menolak dan ambil risiko mengkritik terus korupsi dan ketidakadilan di pengadilan, kejaksaan, polisi, dan pemerintah Demokrasi Terpimpin. (Sekarang ada yang mengira bahwa korupsi di pengadilan mulai dengan advokat, tapi justru sebaliknya yang terjadi. Korupsi peradilan mulai menonjol pada permulaan 1960-an di kantor-kantor kejaksaan, dari situ ke pengadilan, dan pada akhirnya meluas pada advokat yang sulit membela kliennya terkecuali ikut main menurut prinsip baru itu). Baru pada 1963 beberapa advokat senior berkumpul untuk mendirikan asosiasi advokat nasional yang pertama, Peradin, yang pantas dicatat dalam sejarah institusi hukum Indonesia.
Sampai permulaan zaman Orde Baru profesi advokat tetap kecil dan tetap berbentuk seperti pada zaman kolonial. Lantas mulai berubah secara cepat sekali sebagai aMbat pertumbuhan ekonomi yang mulai pada akhir 1960-an. Dalam waktu dua dasawarsa, lebih kurang 250 advokat itu menjadi ribuan dengan kompleksitas yang sama sekali baru dan menyulitkan. Umpamanya saja, perbedaan yang menyolok muncul antara advokat yang berperkara dan konsultan hukum yang mengurus keperluan perdagangan dan investasi serta jarang atau tidak pernah masuk pengadilan. Antara kedua macam lawyerita timbul ketegangan sampai sekarang, yang berakar pada perbedaan pengalaman, klien, cara kerja, pandangan, dan singkatnya, konsepsi profesinya. Ada advokat gaya lama yang tidak bisa menerima konsultan sebagai advokat, dan konsultan yang tidak merasakan hubungan dengan profesi lama itu.
Sebetulnya perubahan itu, lengkap dengan ketegangan tentunya, biasa saja dan sehat dalam suatu profesi yang mulai beradaptasi pada keadaan ekonomi baru dengan cara bertumbuh, berkembang, dan berspesialisasi. Terlihat juga proses itu di Malaysia, MuangThai, Korea, India, Mesir, dan dulu Inggris, Perancis, Amerika Serikat, Jepang, dan banyak negara lain. Yang agak berbeda di Indonesia, para Layers itu sebagai profesi tidak makin berpengaruh melainkan makin lemah. Tidak terlalu sulit untuk mengerti sebab dan akibatoya. Pada dasarnya, pemerintahan Orde Baru (dan Demokrasi Terpimpin sebelumnya) tidak berdasarkan hukum, yang berarti bahwa proses hukum tidak menentukan dan institusi hukum tidak banyak diperhatikan (atau dipedulikan) oleh elit politik dan instansi pemerintah. Pada akhirnya, landasan politik yang paling menentukan (dan paling tidak aman balk untuk rakyat maupun untuk pimpinan politik sendiri) adalah kekuatan senjata dan paksaan. Dalam keadaan itu para hakim, jaksa, dan polisi, seperti pegawai negeri pada umumnya, ikut arus dan pakai kesempatan untuk memperkayakan diri atau, kalau kurang berselera dan berkeberatan, tidak ikut tapi tutup mulut. Antara banyak advokat tendensinya sama, ikut mafia apakah dengan senang hati atau perasaan malu dan jengkel, atau menjauhkan diri daripengadilan. Seperti pernah dikatakan Satjipto Rahardjo, banyak advokat kehilangan idealisme, merasa cukup puas dengan kesempatan, dan tidak banyak memikirkan keadaan negara atau keadaan masyarakat atau nasib profesinya sendiri. Banyak pengacara tidak ambil pusing mendaftarkan diri sebagai advokat di Departemen Kehakiman, karena pendaftaran itu bisa mahal dan tidak bermanfaat, dan pada akhirnya gelar advokat itu hanya berbobot sedikit gengsi saja.
Suasana itu sama sekali tidak subur buat organisasi advokat, baik karena lembaga-lembaga hukum negara tidak simpatik maupun karena terlalu banyak advokat sendiri tidak begitu peduli pada keadvokatan sebagai profesi. Yang makin membanggakan bukan pekerjaan melainkan pendapatan. Eksepsi yang tidak sedikit terdiri atas kalangan advokat tua dan pengikutnya dalam Peradin. Peradin jalan terus atas dasar program yang prinsipil, dalam keadaan dan suasana yang kurang mendukung, dan memperjuangkan terus ide-ide dan konsep yang tidak pernah bisa disetujui pimpinan Orde Baru dan dianggap oleh pimpinan itu sebagai tantangan yang tidak enak. Perlu ditanyakan apa sebabnya, justru advokat, bukan hakim dan jaksa atau pegawai lain, yang bertanding dengan pemerintah Orde Baru. Untuk sebagian, jawaban jelas, yaitu advokat itu bukan pegawai, tidak terikat, swasta pokoknya, yang berarti berkebebasan dan berkeleluasaan agak lebar. Tapi selain ihi, Peradin waktu itu dipimpin advokat senior yang masih ingat keadaan dan harapan proses hukum pada 1950-an, dan sebagai teman karib seprofesi masih merasa terikat pada idealitas dan etika hukum yang dipelajari di fakultas hukum di Jakarta atau di Leiden dulu. Yang lebih kompleks lagi, dan sukar dimengerti dalam suasana zaman Orde Bam, mereka itu masih nasionalis betul dalam atti merasa bertanggung jawab untuk memperbaiki keadaan negara dan masyarakat serta kurang berorientasi pada kepentingan sempit did sendiri. Pimpinan Peradin termasuk orang seperti Lukman Wiriadinata, Yap Thiam Hien, Suardi Tasrif, Zainal Abidin, Soemarno P Wirjanto dan Iain-lain dari generasi tua itu. Dari ribuan advokat (termasuk konsultan) dan pengacara yang buka kantor pada 1970-an dan 1980-an, Peradin tidak pernah menarik anggota lebih dari 800. Tetapi organisasinya rapi. Ada daftar anggota dan anggotanya bayar iuran. Pada akhir 1960-an sampai 1980 mulai ada jurnalnya, Majalah Hukum dan Keadilan, yang masih menarik dan berguna untuk dipelajari.
Para advokat yang berkumpul dalam Peradin itu tidak hanya berperan sebagai advokat dalam arti sempit, di pengadilan, tetapi juga sebagai pejuang reformasi, negara hukum, dan hak asasi manusia. Lembaga Bantuan Hukum, yang didirikan pada 1970 oleh Adnan Buyung Nasution, disponsori dan didukung Peradin. LBH mencerminkan prinsip dan pandangan banyak anggotanya. Antara pengacara muda yang pernah ikut LBH, ada yang tetap aktif sekarang sebagai advokat yang mendesak terus menuju negara hukum yang adil. Ada juga yang sekarang sudah menjadi Hakim Agung, yang efeknya masih terbatas tapi penting sebagai tanda perubahan. Pada 1977 Peradin menyatakan diri sebagai organisasi perjuangan yang berdedikasi pada pemulihan negara hukum, suatu komitmen nyata pada reformasi. Salah satu akibat aktivisme Peradin adalah keretakan: banyak anggota tidak setuju dengan pandangan pimpinan yang dianggap terlalu siap untuk kecam pemerintah pada setiap saat. Sebagian dari anggota Peradin akhirnya keluar.
Akibat lain adalah reaksi pemerintah yang makin jengkel terhadap keributan Peradin, apalagi karena hakim, jaksa, dan polisi mendesak supaya advokat yang galak mengenai korupsi dan pelanggaran prinsip-prinsip keadilan mulai diawasi. Kecaman Peradin terhadap korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan dibalas rezim Orde Baru pada permulaan 1980-an. Waktu itu pemerintah hendak meleburkan Peradin dan lain asosiasi pengacara ke dalam satu organisasi advokat baru—yaitu Ikadin—yang dapat dikendalikan yang berkuasa. Tetapi pada akhirnya usaha yang dipimpin Menteri Kehakiman Ismail Saleh itu gagal, sebagian besar karena para advokat (bukan hanya di Indonesia) agak sukar dikontrol siapapun.
Lama kelamaan Peradin tutup usia, suatu pukulan berat pada perjuangan negara hukum. Tapi tidak diganti satu organisasi besar di bawah pengaruh pemerintah. Malah muncul empat atau lima asosiasi yang sulit sekali diarahkan oleh tangan negara. Akan tetapi ternyata juga bahwa profesi advokat tidak mampu mengendalikan diri sendiri. Antara semua asosiasi advokat yang didirikan sejak 1980-an, tidak ada satu pun yang menikmati organisasi yang ketat, yang punyaadministrasi betul, yang menarik iuran anggota secara teratur, yang menerbitkan majalah (Ikadin dulu pernah menerbitkan hanya satu edisi saja jurnalnya, lantas tidak lagi), yang mampu melaksanakan kode etik, dan yang cukup berpengaruh dalam gerakan reformasi. Sejak Pefadin hilang, profesi advokat di Indonesia terbagi dalam beberapa organisasi yang mirip klub sosial, terbukti hampir impoten.
Justru dalam hubungan dengan reformasi—reformasi hukum, politik, kelembagaan negara, dan lain lagi—kelemahan profesi advokat ini merupakan luka berat. Tidak dapat disangkal bahwa sistem peradilan dan proses hukum di Indonesia rusak sesudah empat puluh tahun Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru. Tidak ada satu lembaga pemerintah yang dapat dikatakan sehat dan dipercayai masyarakat. Penciptaan kembali lembaga-lembaga hukum (dan politik) yang bisa diterima warga-negara Indonesia sebagai sumber keadilan akan makan waktu, dan hanya mungkin kalau diakui bahwa seluruh kelembagaan hukum perlu disembuhkan atau malah diciptakan kembali dan didukung oleh elit politik yang juga diperbaharui.
Dalam sistem peradilan institusi kunci adalah pengadilan, kejaksaan, polisi, dan advokat, dan tambah lagi fakultas hukum. Sulit sekali dikatakan bahwa satu lebih penting dari pada yang lain, karena kelemahan satu memperlemahkan semuanya. Agak ironis bahwa advokat kurang diperhatikan dibanding hakim, jaksa, dan polisi, karena justru advokat, sebagai penghubung (atau saluran dan penafsir antara) masyarakat dan institusi hukum formal, yang seharusnya berperan luas dalam usaha reformasi hukum, sebagai sumber kritik, pendesak (pressuregroup), pencetus ide dan pandangan baru, guru hukum buat kliennya, personalia potensil buat pengadilan, kejaksaan, dan departemen pemerintah. Dari semua institusi hukum, yang paling lunak, fleksibel, dan (relatif) gampang dipersiapkan buat pekerjaan pembaruan adalah profesi advokat dan pendidikan hukum.
Sekarang sudah empat tahun sejak Presiden Soeharto meletakkan jabatan, dan makin jelas bahwa reformasi hukum (dan politik) tidak akan cepat atau lancar. Baik pimpinan politik maupun kalangan pejabat lembaga-lembaga hukum formal ternyata tidak mempunyai strategi reformasi dan belum tentu ikut berkepentingan dalam reformasi Mungkin saja malah sebaliknya, antara lain karena reformasi betul akan memperkuatkan pimpinan baru yangrela tunduk dan merasa (paling sedikit, agak) terikat pada hukum. Sedangkan hakim, jaksa, polisi, dan pegawai administrasi terpaksa menerima norma-norma pendekatan tugas dan pertanggungjawaban yang cukup berat. Dalam keadaan ini, lembaga hukum yang logis menjadi harapan reformasi (selain pendidikan hukum) adalah profesi advokat. Di situ, paling sedikit, selain advokat yang bermafia masih ada juga yang jujur, mampu, dan rela berkorban diri sedikit. Muka meteka terlihat hampir setiap hari di omop yang memperhatikan hukum, pengadilan, dan hak asasi manusia, di beberapa firma advokat dan konsultan, di Komnas HAM, dan lain lagi.
Akan tetapi, pengaruh mereka sangat terbatas sekarang karena fragmentasinya dan kelemahan organisasinya semua. Selain itu, ternyata bahwa profesi advokat, karena tambah besar dan bermutasi dengan begitu cepat, kehilangan landasan ideologi—termasuk norma etik dan pertanggungjawaban profesional—yang pernah iadi pegangan Peradin dulu. Konsekuensi persoalan ini terlihat pada kelemahan rancangan undang-undang advokat yang mencerminkan pandangan pimpinan asosiasi-asosiasi advokat, dan terlihat juga dalam ketidakrelaan pimpinan asosiasi-asosiasi advokat untuk mengatasi permusuhannya dan menciptakan kembali satu organisasi profesional yang kuat, teratur, dan siap menyumbangkan kemampuan para advokat pada pekerjaan reformasi.
Kalau ada pembaca yang anggap paragraf terakhir ini terlalu idealis, impian saja, sebetulnya intinya berakar pada pendapat para advokat sendiri yang tercatat dalam buku ini. Reformasi profesi advokat (seperti lembaga hukum lain) memerlukan informasi banyak dan pengertian mendalam. Buku ini penuh dengan informasi dan pengertian tentang profesi advokat. Justru karena mengerti bahwa profesi advokat merupakan unsur penting dalam sistem hukum Indonesia dan penyehatannya, PSHK ambil keputusan untuk mempelajarinya.
Buku ini merupakan hasil riset yang paling mendalam tentang profesi advokat yang pernah ditulis di mana saja di Asia Tenggara. Selama kira-kira satu tahun, tim yang menjalankan riset itu mendekati persoalan advokat dan beberapa sudut— termasuk survei tertulis yang direncanakan secara teliti, wawancara langsung baik dengan sejumlah advokat maupun dengan kliennya, analisis sejarah profesi dan keadaannya sekarang, pertimbangan soal-soaj yang dihadapi advokat, ditambah pemikiran dan pertimbangan kemungkinan perbaikan, dan banyak lagi. Dan pekerjaan itu, yang dibantu oleh beberapa penasehat dari kalangan advokat, diperkuat oleh suatu komitmen pada objektivitas yangnyata di setiap halaman. Mutu riset tersebut dan penjelmaannya dalam buku ini merupakan sumbangan yang agak luar biasa baik pada dunia ilmu hukum maupun pada usaha reformasi sistem peradilan.
Terbukti sudah bahwa jalan reformasi itu tidak gampang. Akan tetapi, hasil proses perubahan itu mau tak mau tergantung bukan hanya pada kebijaksanaan dan strategi politik yang masuk akal, tetapi juga pada kapasitas lembaga-lembaga di luar pemerintah untuk mendesakkan pembaruan yang bermanfaat buat seluruh masyarakat. Tapi kemampuan itu menuntut pengetahuan dan pengertian, selain imajinasi dan perencanaan, yang praktis dan realistis. Buku tentang profesi advokatdi Indonesia ini menawarkan landasan pengetahuan yang kuat dan mengesankan. Semestinya dibaca oleh sebanyak mungkin warga negara dan dipelajari setiap advokat yang merasa terdorong untuk memperjuangkan negara hukum yang berdasarkan keadilan.
Daniel S. Lev                                                                                                                                                                 Seattle, September 2002


TIPS UNTUK MASYARAKAT UMUM DALAM MEMILIH PENGACARA
Kenapa banyak masyarakat mempunyai pandangan negatif terhadap pengacara- pengacara kita? Pertama, banyak pengacara menjadikan hukum sebagai komoditas politik, untuk kepentingan kekuasaan, kepentingan uang yang pada akhirnya hukum itu sendiri diperjual- belikan. 
Kedua, banyak orang berpendapat bahwa idealisme dan integritas profesi penasehat hukum kita telah runtuh. Pengacara tidak jauh dari sebutan- sebutan ”mafia peradilan”; dimana adanya ”pengacara yang tak pernah kalah” (yang artinya dalam prakteknya pengacara ini mempunyai hubungan dan jaringan luas dengan oknum jaksa atau hakim, sehingga selalu terbuka aksesnya utk melakukan lobi- lobi secara tertutup atau melakukan penyuapan untuk kepentingan kliennya. Ada juga sebutan ”pengacara rekanan” sebutan bagi pengacara yang terjalin dalam konspirasi dengan oknum jaksa utk menjadi pengacara terhadap tersangka dalam kasus kasus tertentu seperti korupsi, narkotik dan kejahatan dibidang perbankan. Dan ada pula ”pengacara kalengan” yaitu pengacara yang secara profesional tidak mempunyai kecakapan untuk menjadi pengacara, tapi apabil diberi sebuah perkara, pertama kali tindakannya bukan mencari dalil, bukti dan fakta untuk dasar pembelaannya, tetapi berkasak-kusuk mencari oknum-oknum jaksa atau hakim yang bisa disuap untuk dapat meringankan bahkan membebaskan kliennya.
Maka dari itu, banyak pengacara disamakan dengan ”drakula” yang selalu dahaga setiap saat siap menghisap ”darah” para kliennya dan memainkan taktik taktik licik yang dapat menyebabkan para klien itu kehilangan keyakinan atas kebenaran dan keadilan yang diperjuangkannya.
Apakah bedanya seorang advokat, pengacara dan penasehat hukum? Advokat/ pengacara= trial lawyer= attorney at law= barrister, adalah orang yang mewakili kliennya untuk melakukan tindakan hukum berdasarkan surat kuasa yang diberikan untuk pembelaan atau penuntutan pada acara persidangan di pengadilan atau beracara di pengadilan (proses litigasi). Ia menjalankan praktek profesinya berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman atau Ketua Pengadilan Tinggi setempat di muka dan diluar pengadilan.
Penasehat hukum= counsellor at law= solicitor, adalah orang yang bertindak memberikan nasehat- nasehat dan pendapat hukum terhadap suatu tindakan/ perbuatan hukumn yang akan dan yang telah dilakukan oleh kliennya (non-litigation). Konsultan hukum menjalankan praktek profesinya berdasarkan surat izin usaha yang khusus yang diberikan oleh yang berwenang tidak di muka pengadilan. * Corporate lawyer pd perusahaan properti pada umumnya bekerja untuk pekerjaan2 hukum yang berkaitan dengan bidang usaha properti seperti pembebasan tanah, jual beli tanah, sewa menyewa gedung, perjanjian kerja sama penggunaan properti, perjanjian pembangunan gedung dengan kontraktor lainnya (pekerjaan diluar litigasi). Namun, hingga sekarang, kita belum memiliki istilah dan pengertian yang baku tentang advokat, pengacara, penasehat hukum atau diistilahkan lain.
Apakah tips yang dapat diberikan kepada masyarakat umum dalam membuat keputusan untuk berurusan dengan seorang penasehat hukum?Pertama sekali, faktor2 yang harus dipertimbangkan termasuk: a. identifikasi masalah yang dihadapi, b. bentuk tindakan yang harus dilakukan dan, c. kesiapan secara moril maupun material dalam berperkara.
Perlu diingat bahwa penggunaan penasehat hukum tidak secara otomatis dalam rangka untuk melakukan suatu tindakan hukum terhadap suatu perkara. Keberadaan hukum sendiri adalah suatu alat untuk memelihara keadilan agar selalu tercipta ketentraman dalam masyarakat. Bagaimanapun keadilan bukanlah konsep yang baku secara universal. Bermacam macam masyarakat akan melahirkan persepsi keadilan yang bermacam2 pula, begitu pula berlaku bagi individu2 dan bahkan para hakim sekalipun. Maka dari itu banyak masyarakat akhirnya kecewa karena melihat keadilan hanya dari sudut pandang dirinya sendiri. Padahal, suatu putusan hakim hanyalah jalan keluar yang maksimal dari suatu perkara, bukan berarti memberikan semua apa yang diminta, barangkali hanya sebagian, bahkan tidak sama sekali. Para hakim hanya mendapatkan gambaran dari rekonstruksi suatu peristiwa.  Jadi janganlah terlalu berharap akan terjadi suatu keajaiban dengan melakukan suatu tindakan hukum. Belum lagi kesiapan moril dan materil seperti tekanan- tekanan psikologis dalam berbagai situasi yang dialami selama proses berperkara yang dapat menjadi mimpi buruk untk kita. Contohnya, mungkin saja satu saat seseorang yang sedang berperkara untuk sementara terpaksa meninggalkan pekerjaan karena harus hadir dalam jadwal persidangan. 
Dengan demikian, sangatlah bijaksana apabila pihak2 yang berperkara lebih mengutamakan jalan penyelesaian secara damai diluar pengadilan. Jikapun harus diselesaikan melalui tindakan hukum melalui proses acara persidangan di pengadilan hendaknya hal tersebut ditempatkan sebagai pilihan akhir.
Sebaliknya, kondisi dan situasi dimana penasehat hukum dan tindakan hukum dibutuhkan adalah apabila seseorang diancam pidana mati; menghadapi gugatan hutang-piutang atau wansprestasi dalam perjanjian yang jumlah dan nilainya sangat essential.
Bagaimana menentukan seorang penasehat hukum dan honornya? Untuk mendapatkan penasehat hukum yang baik banyak cara dapat dilakukan. Pertama, menunjuk penasehat hukum yang mempunyai kecakapan dan pengalaman pada bidang perkara yang anda hadapi.
Kedua, menunjuk penasehat hukum yang independen atau bebas dari kepentingan atau tekanan pihak manapun, apalagi mereka yang mempunyai hubungan dengan lawan perkara anda, baik hubungan keluarga, atasan/ bawahan, bisnis atau yang pernah menanggani lawan perkara anda tersebut.
Ketiga, anda juga dapat menunjuk penasehat hukum yang dikenal atau berdasarkan rekomendasi dari teman atau relasi yang pernah mengalami kesuksesan dalam menyelesaikan perkara mereka.
Terakhir, anda dapat mencari penasehat hukum yang cocok dari media buku kuning atau buku daftar penasehat hukum.
Dalam masalah honor, biasanya konsultasi pertama diberikan secara cuma- cuma, maka dari itu pergunakanlah waktu ini secara efektif kepada penasehat hukum anda. Honor seorang penasehat hukum biasanya ditentukan dengan rumit tidaknya suatu kasus dan kondisi dan posisi seorang klien di dalam suatu perkara.
  • Contigent fee adalah suatu kondisi dimana sang penasehat hukum untk sementara waktu membiayai perkara tersebut, dan apabila jika dikemudian hari perkara tersebut dapat dimenangkan, maka klien harus membayar honor/fee yang telah ditetapkan untk penasehat hukum.
  • Success fee adalah fee yang berkaitan dengan dimenangkannya perkara.
Hubungan kepercayaan yang mana yang harus ada antara klien dan penasehat hukum ? Kepercayaan yang didasarkan atas suatu emphati yang cukup untuk mengenal harapan dan keinginan pihak lain. Kemampuan mengidentifikasi hal hal yang dapat menimbulkan resiko dan ancaman terhadap hubungan, membuat segala sesuatu yang berpotensi membuat terjadinya perkara dapat dihindari. Pendek kata, setiap pihak saling memahami dan menghargai kepentingannya dan kepercayaan ini dapat dibangun terus sehingga mencapai puncaknya. Pentingnya kepercayaan adalah untuk tujuan kerjasama yang baik, dan meringankan beban transaksi.
Kapan sebaiknya digunakan Alternative Dispute Resolution (forum damai diluar pengadilan)? Bagi perkara yang telah mengakibatkan suatu kerugian yang tidak dapat diperbaiki terutama dalam perkara perkara pidana, forum pengadilan adalah pilihan yang sesuai untuk menyelesaikannya.
Tetapi bagi perkara yang berkaitan dengan persoalan nilai, perasaan; persepsi, harga diri serta perkara berkaitan dengan hubungan bisnis yang menghendaki hubungan kerja sama yang telah terbina tetap terpelihara dengan baik, ADR adalah forum yang tepat untuk menyelesaikannya.


TIPS UMUM UNTUK PENGACARA DALAM MENJALANKAN PROFESINYA

Bagaimana seorang pengacara menghadapi sebuah perkara. Pertama, pertimbangkan dengan baik dan hati-hati apa yang diperkarakan, siapa yang berperkara, bagaimana kronologis terjadinya perkara dan adakah hal- hal yang perlu dikawatirkan terhadap penggunaan cara dan proses tertentu dalam penyelesaiannya.
Karena tidak tepatnya cara atau proses yang digunakan dalam penyelesaian perkara itu sendiri dapat menyebabkan sebuah mimpi buruk bagi pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Suatu perkara tidak selalu harus diselesaikan melalui proses ”tindakan hukum” melainkan melalui dialog dan tindakan persuasif. Bagi perkara yang mempunyai solusi hukum, tentunya harus diselesaikan dengan tindakan hukum pula, terlebih bagi perkara yang mempunyai eskalasi yang luas, menyangkut kepentingan masyarakat umum dan negara.
Apakah yang harus dilakukan seorang pengacara untuk membalikkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap profesi ini? Sebagai pengacara, hendaklah kita berbuat berdasarkan keyakinan yang baik, yang berdasarkan dengan kode etika yang ada, jujur di negosiasi2 yang dipercayakan kepada kita, dan tidak mengambil keuntungan yang berlebihan dari orang lain kalau memang ada kesempatan seperti itu. Hendaklah, seorang penasehat hukum bersikap dan bertingkah laku sebagai seorang penasehat hukum yang bertanggung jawab, baik menjunjung tinggi hukum, menghormati hak dan kepentingan pihak lawan dan tidak melecehkan pihak lawan. Kode etik melarang penasehat hukum melakukan kolusi atau rekayasa perkara dengan pihak lawannya yang dapat merugikan klien. Undang- undang memperbolehkan para penasehat hukum untuk melakukan perdamaian dengan pihak lawannya untuk menyelesaikan perkara di luar jalan pengadilan, namum harus seijin klien yang bersangkutan tersebut.
Apakah yang dimaksud dengan kode etika profesional itu?Kode etika (Kansil) adalah suatu nilai nilai positif yang menuntun perilaku atau tindak tanduk manusia, dan penguraiannya adalah: 1. Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak kewajiban moral, 2. Kumpulan asas atau nilai yang berkenan dengan akhlak; 3. Nilai mengenai benar atau salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat. 
Dengan kata lain, pertanyaan dasar etika adalah bagaimana saya harus bertindak dalam bidang yang bersangkutan, atau bagaimana bidang tersebut ditata agar menunjang pencapaian kebaikan manusia sebagai manusia.
Profesi adalah suatu pekerjaan yang mempergunakan keahlian khusus dengan standar dan kualitas tertentu didapatkan dari pendidikan atau lamanya suatu pengalaman. M Sanusi memberikan definisi kode etik profesi penasehat hukum sebagai:
Ketentuan atau norma yang mengatur sikap, prilaku dan perbuatan yang boleh atau tidak boleh dilakukan seorang penasehat hukum dalam menjalankan kegiatan profesinya, baik sewaktu beracara di muka pengadilan maupun di luar pengadilan.
Kesimpulannya adalah suatu profesi tidak akan mempunyai citra, wibawa dan harkat serta matabat apabila tidak dilekatkan dengan nilai- nilai etika yang luhur. Justru hal ini dapat menjadi sangat berbahaya apabila segala kecakapan dan keahlian tersebut tidak ada melekat nilai-nilai etika yang baik.
Pelanggarannya mungkin lebih berkualitas daripada yang dibuat orang orang awan. Para penasehat hukum haruslah berusaha menciptakan dan memiliki suatu kode etik yang tegas tampa ada bagian yang abu- abu yang dapat diinterpretasikan secara bebas  dan berbeda satu sama lain.
Dimana dan apakah kode etik yang ada di Indonesia? Kode Etik Penasehat Hukum Indonesia adalah kode etik yang telah disepakati oleh Ikadin (Ikatan Advokat Indonesia), AAI (Assosiasi Advokat Indonesia), IPHI (Ikatan Penasehat Hukum Indonesia) pada tanggal 4 April 1996. Kode Etiknya termasuk: Kode Etik yang Berkaitan dengan Sikap, Perilaku, dan Kepribadian Penasehat Hukum pada Umumnya, Hubungan Penasehat Hukum dengan Klien dan Menjaga Hubungan Sesama Teman Sejawat dan sikap dan tindakan Penasehat Hukum dalam menanggani perkara dan menghadapi lawan perkara.
Kewajiban bagi penasehat hukum untuk menjunjung tinggi Pancasila, UUD’45, UU dan Peraturan yang berlaku di Negara Republik Indonesia, kita jumpai dalam pasal 37 dari UU no 14 (1970) tentang Pokok Pokok Kekuasaan Kehakiman dan juga dalam sumpah jabatan penasehat hukum. Dalam sumpah itu juga ditekankan kewajiban seorang penasehat hukum untuk menghormati kekuasaan umum (penuntut umum dan penyidik) dan badan peradilan Indonesia (hakim, panitera, jurusita dan pejabat struktural kepaniteraan). 
Pelaksanaanya diawasi suatu badan otoritas, Dewan Kehormatan baik yang berada di cabang atau pusat. Cara beracara di persidangannya dan sanksi atas pelanggaran kode etik ditentukan sendiri.
Kapan diberlakukannya contempt of court? Rekernas MA (1986) mengelompokkan perbuatan penasehat hukum yang dapat dianggap sebagai contempt of court, yaitu: A. Secara lisan atau tertulis telah mengeluarkan pernyataan atau pendapat yang merupakan perbuatan yang diancam dengan pidana; B. Memperlihatkan sikap yang tidak hormat kepada majelis pengadilan atau pejabat peradilan lainnya, C. Mengabaikan kepentingan dari si peminta bantuan hukum, D. Menggunakan kata kata yang tidak pantas terhadap undang undang atau pemerintah, E. Bertingkah laku dan berbuat yang tidak layak terhadap pihak pihak yang berperkara atau pembelanya.
Bagaimanakah garis besar pengangkatan seorang penasehat hukum? Ketentuan- ketentuan yang mengatur tentang penasehat hukum secara khusus hanyalah berdasarkan peraturan-peraturan  yang dikeluarkan oleh Makamah Agung dan Menteri Kehakiman berupa surat edaran dan surat keputusan bersama. Tidak ada ketentuan-ketentuan setingkat dengan UU yang khusus mengatur tentang penasehat hukum atau diistilahkan lain.
Lihat Surat Edaran MA No 047/TUN/III/1989 tgl 18 Maret 1989 ttg Penerimaan Calon Pengacara Praktek dan Advokat (penasehat hukum), tentang ujian dan lain lain. Setelah lulus dalam proses seleksi atau ujian maka pengacara praktek akan diberikan surat pengangkatan oleh Kepala Pengadilan Tinggi, sedang advokat mengucap sumpah dihadapan Majelis hakim Pengadilan Tinggi setempat.
Tips: pada era globalisasi dimana terjadi kegiatan dan hubungan antara satu atau kelompok manusia dengan manusia lain, akan terjadi hubungan tidak hanya antara perusahaan, lembaga, kelompok organisasi dalam negara, melainkan meluas menjadi antara negara. Contohnya, dalam financial law, banyak persoalan dikaitkan dengan capital market, sindicated loan, restructuring, securitisation, banking, and taxation. Corporate law terkait dengan persoalan merger, take over, acquisition, bankrupcy dan liquidation. Industrial law terkait dengan persoalan labour, employment, natural resources, environmental, mining, investment, construction, real property dan insurance. Commerial law terkait dengan persoalan contract, copy right, patent, trademark, labelling, franchising, licencing dan agency, dll.
Maka dari itu, penasehat hukum tidak hanya harus mampu dalam memberikan konsultasi hukum dan beracara pada persidangan di pengadilan tetapi juga harus ahli dalam melakukan negosiasi, mediasi, dan konsiliasi sebagai metode dari penyelesaian perkara di luar pengadilan tersebut. Metode cara penyelesaian diluar pengadilan akan lebih popular digunakan dalam menyelesaikan perkara- perkara bisnis.
Apakah yang dimaksud dengan ”Fenomena Konsultan Hukum”? Ketentuan- ketentuan di dalam Kode Etik Penasehat Hukum Indonesia dan Anggaran Dasar AAI secara mum cenderung lebih mengatur hal-hal yang berkaitan dengan penasehat hukum yang berpraktek di muka pengadilan.
Hasilnya adalah bahwa penasehat hukum yang menjalankan praktek sebagai konsultan hukum nyaris tidak mempunyai landasan hukum sebagaimana halnya dengan penasehat hukum yang menjalankan praktek di muka pengadilan. Padahal, para konsultan hukum ini banyak terlibat secara luas dalam memberikan konsultasi hukum bagi investor domestik maupun asing dalam rangka melakukan penanaman modelnya secara langsung di Indonesia. Seperti dalam merancang memorandum of understanding, perjanjian joint venture, technical assistant, pendirian badan usaha, perpajakan, perijinan, pertanahan, tenaga kerja perbankan, impor alat-alat produksi, dsb. Konsultan Hukum menghindari penangganan pekerjaan berupa perkara-perkara yang diselesaikan melalui proses litigasi.  Artinya, dalam menjalankan prakteknya, tidak perlu ada surat kuasa dari para kliennya tapi bekerja berdasarkan permintaan jasa konsultasi.
Pendirian kantor konsultan hukum sama sebagaimana halnya dengan kantor advokat atau pengacara. Kantor konsultan hukum didirikan berdasarkan perjanjian perserikatan perdata, kemudian didaftarkan kepada panitera pengadilan negeri setelah terlebih dahulu mendapatkan domisili dan Nomor Pendaftaran Wajib Pajak (NPWP). Dapat juga, konsultan hukum melakukan praktek di bawah nama badan hukum perseroan terbatas atau yayasan, dan ini sangat sulit ditindak apabila adanya pelanggaran kode etik dalam prakteknya.


PROSEDUR PENGADILAN DI INDONESIA - PIDANA (I)
Pola dasar tentang prosedur penyelenggaraan administrasi perkara
Pra peradilan. Untuk kepentingan pengawasan terhadap pelanggaran hak asasi manusia oleh aparat penyidik dan penuntut umum, maka lembaga praperadilan dibuat atas dasar KUHAP pasal 8, 77 s/d 83, 95(2) dan pasal 9 UU Kekuasaan Kehakiman. Pemberian wewenang ini bertujuan untuk menegakkan hukum dan keadilan secara sederhana, cepat dan murah dalam rangka memulihkan harkat/ martabat, kemampuan/ kedudukan serta mengganti kerugian terhadap korban yang merasa dirugikan.
Yang dapat mengajukan adalah tersangka, keluarga atau kuasanya, penyidik, umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri (pasal 80) dengan menyebutkan alasannya (pasal 79). Tapi, dalam pasal 83 (2) pengadilan tinggi mempunyai wewenang untuk memberi putusan akhir atas putusan praperadilan yang menyatakan tidak sahnya penyidikan atau penuntutan. Ini adalah pemeriksaan khusus yang tidak dapat diperani oleh Makamah Agung. Dan praperadilan tidak dapat dilakukan oleh anggota ABRI yang menggambarkan campur tangan sipil di lingkungan kehidupan militer.
Pasal 77 dan pasal 1 butir 10 menjabarkan yang diperiksa/ macam- macam kerugian yang diderita adalah:
a. Sah tidaknya penangkapan, penahanan (yang tidak memenuhi syarat pasal 21 termasuk juga penahanan yang lebih lama daripada yang dijatuhkan), penyidikan atau perhentian tuntutan yang masih perlu menemukan bukti lain, kadaluarsa, tidak ada pengaduan delik aduan atau pengaduannya dicabut, karena tersangka/ terdakwa meninggal dunia, atau karena keliru orangnya (error in persona), ne bis in idem, bukan perkara pidana, peraturan perundangan yang digunakan telah dicabut- pasal 16 s/d 31, dan juga tindakan lain- pasal 95(1) (2), pasal 1 butir 22 yaitu kerugian yang ditimbulkan oleh pemasukan rumah, pengeladahan dan penyitaan yang tidak sah menurut hukum.
b. Ganti kerugian uang dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pd tingkat penyidikan atau penuntutan (pasal 22). Pasal 99 (2) biaya yang telah dikeluarkan seperti biaya pengobatan, pemulihan cacat, operasi patah tulang, memperbaiki mobil yang ditabrak, dsb dapat didapat kembali apabila gugatan ganti kerugian diterima.    
Batas waktu pengajuan ganti kerugian berdasarkan pasal 95 adalah dalam tenggang waktu 3 bulan sejak putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap untuk a, dan 3 bulan dihitung saat pemberitahuan penetapan peradilan untuk b. Namun, apabila kerugian disebabkan oleh kesalahan tersangka, tuntutan itu tidak akan dikabulkan.
Pemeriksaan praperadilan harus dilakukan secara cepat, dalam waktu 7 hari harus sudah dijatuhkan putusan. Permintaan praperadilan menjadi gugur jika perkara sudah dimulai diperiksa oleh pengadilan, sedang pemeriksaan mengenai permintaan praperadilan belum selesai.
Putusan praperadilan tidak dapat dimintakan banding (pasal 83) dengan perkecualian mengenai putusan praperadilan yang menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan, maka atas hal tersebut dapat diajukan banding ke pengadilan tinggi, selanjutnya putusan pengadilan atas perkara tersebut merupakan putusan terakhir.
Besarnya imbalan ganti rugi:
1. Ganti kerugian atas dasar pasal 95 dan pasal 77 adalah berupa imbalan serendah-rendahnya berjumlah Rp. 5000 dan setinggi-tingginya Rp 1 000.000.
2. Apabila yang bersangkutan cacat hingga tidak dapat melakukan pekerjaan atau mati, besarnya ganti kerugian berjumlah setinggi-tingginya 3.000.000- penetapan diberikan 3 hari setelah penetapan diucapkan.
3. Rehabilitasi berdasarkan pasal 97, harus diajukan  dalam waktu 14 hari setelah putusan lepas tersangka, yang berisi: 
           a. Amar putusan dari pengadilan mengenai rehabilitasi sebagai berikut:
Memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat martabatnya.
           b. Amar penetapan dari praperadialn mengenai rehabilitasi berbunyi sbb:
Memulihkan hak pemohon dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya.  
Isi putusan atau penetapan rehabilitasi diumumkan oleh panitera dengan menempelkannya pada papan pengumuman pengadilan (pasal 15), ke pemohon, penyidik, penuntut umum, tempat kerja, RT/RW (Pasal 13 Peraturan Pemerintah No 27 (1983)).
Orang yang mendapat kerugian disebabkan karena dilakukannya suatu tindak pidana, dapat menggabungkan perkara pidananya dengan permohonan untuk mendapat ganti rugi yang pada hakekatnya merupakan suatu perkara perdata (pasal 98 s/d 101).
1. Pengadilan Tingkat Pertama
Pengadilan Negeri
1.1  Perkara Perdata Umum
Meja Pertama
Kas
Meja Kedua
Meja Ketiga
     Banding:
-         Bundel A (Pengadilan Negeri)
-         Bundel B (Pengadilan Tinggi)
Kasasi:
-         Bundel A (Pengadilan Negeri)
-         Bundel B (Makamah Agung)
Peninjauan Kembali
-         Bundel A (Pengadilan Negeri)
-         Bundel B (Makamah Agung)
 
1.2  Perkara Pidana Umum
KUHPT pasal 84 (1) Pengadilan Negeri berhak mengadili suatu tindak pidana dimana tindak pidana itu dilakukan di wilayah hukumnya, namun ada pembatasan dalam pasal 84 (2). Selanjutnya, pasal 84 (3) menerangkan apabila seorang terdakwa melakukan beberapa tindak pidana di dalam daerah hukum pelbagai pengadilan negeri, tiap pengadilan negeri itu berwenang mengadili perkara pidana itu. Liat juga pasal 84 (4)- tentang penggabungan perkara dan pasal 85 dimana Makamah Agung menetapkan pengadilan lain apabila terjadi bencana di daerah 1 pengadilan negeri yang berhak mengadili suatu perkara.
Pengadilan Negeri baru dapat menyidangkan suatu perkara apabila suatu perkara telah dilimpahkan oleh penuntut umum dengan permohonan untuk diadili (pasl 137 KUHAP). Hal ni dipelajari oleh ketua pengadilan (pasa147). Apabila bukan Pengadilan Negri itu tidak punya wewenang, pasal 148 (1) menjelaskan bahwa surat itu diberikan kepada Pengadilan Negri lain yang dianggap berwewenang.
Apabila Pengadilan Negri itu punya wewenang, ketua menunjuk hakim yang akan menanggani perkara tersebut. Hakim tersebut menetapkan hari sidang, pemanggilan terdakwa dan para saksi (dengan surat sah ke tempat tinggalnya, atau kepala desanya atau ditempelkan pada pengumuman di gedung pengadilan yang berwenang mengadili perkara tersebut.) Di dalam pengadilan, menurut pasal 156 KUHAP, setelah hakim meneliti identiti terdakwa, surat dakwaan dibacakan, tangkisan2 dapat diberikan oleh terdakwa, yang terdiri dari:
1. Surat dakwaan itu tidak sah atau tidak memenuhi syarat2 yang ditentukan oleh UU,
2. Pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya, (perlawanan atas putusan hakim Pengadilan Negeri dapat diajukan ke Pengadilan Tinggi),
3. Hak penuntutan gugur karena kadaluarsa.
Penuntut Umum diperkenankan merespon, hakim mempertimbangkannya,  dan apabila keberatan diterima, sidang tidak dilanjutkan. Namun, apabila keberatan tidak diterima, sidang dilanjutkan, atau diperiksa dulu baru dilanjutkan. Perkara yang diajukan kepada mengadilan terdiri dari 3 jenis:
a. Acara pemeriksaan biasa, yang diatur dalam pasal 152 s/d 202,
b. Acara pemeriksaan singkat, pasal 203-204,
c. Acara Pemeriksaan cepat, yang diatur dalam pasal 205 s/d 216.
1.      Acara Pemeriksaan Tindak Pidana Ringan pasal 205-210,
2.      Acara Pemeriksaan Perkara Pelanggaran Lalu Lintas Jalan pasal 211 s/d 216.
Apabila terdakwa tidak hadir (154 (2) s/d (6) KUHAP), sampai dia didatangkan secara paksa barulah sidang dapat dilaksanakan. Apabila saksi tidak hadir, dia dapat dikenakan pidana pasal 224 KUHP.
Penyellenggaraan administrasi perkara pidana umum oleh Panitera Pengadilan:
Meja Pertama
Meja Kedua
     Banding:
-         Bundel A (Pengadilan Tingkat Pertama)
-         Bundel B (Pengadilan Tinggi Banding)
Kasasi:
-         Bundel A (Pengadilan Tingkat Pertama)
-         Bundel B (Makamah Agung)
Peninjauan Kembali
-         Bundel A (Pengadilan Tingkat Pertama)
-         Bundel B (Makamah Agung)
Grasi
-         Bundel A (Pengadilan Tingkat Pertama)
-         Bundel B (Makamah Agung)
 
2. Pengadilan Tinggi  
Dua tugas pokok pengadilan tinggi termasuk, 1. memutus perselisihan- perselisihan peradilan (yurisdiksi) (pasal 148 149) dan memutus dalam tingkat banding perkara-perkara pidana dan perkara perdata dari semua keputusan pengadialn negeri yang dimintakan banding (pasal 87). Namun beberapa putusan pengadilan negeri yang tidak bisa dimintakan banding termasuk seperti putusan praperadilan (pasal 83 (1)) dan putusan pengadilan yang ancaman hukumnya tidak lebih dari 3 bulan kurungan atau denda Rp 7,500.
Penyelenggaran Administrasi Perkara Pada Pengadilan Tingkat Banding
Meja Pertama
Kas
Meja Kedua
Meja Ketiga
2.1  Perkara Perdata Banding
-         Batas waktu 14 hari
-         Syarat2 terpenuhi,
-         Dalam 1 bulan harus dikirim ke Pengadilan Tinggi (berkas dijilid (bundel A & B).

2.2  Perkara Pidana Banding (KUHAP 233-243)
-     Batas waktu 14 hari setelah permintaan banding dimajukan, Panitera mengirimkan berkas perkara banding kepada Pengadilan Tinggi.
-     Penuntut umum dapat mengajukan permintaan banding dalam waktu 7 hari- KUHAP pasal 233, kecuali terhadap putusan bebas, putusan lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya peberapan hukum dan putusan pengadilan acara cepat- pasal 67. Ketentuan2 lain liat pasal 236 (2), (4)- tentang hak asasi terdakwa, 237, dan 243(2).
-     Pencabutan banding berarti tidak boleh mengajukan permohonan lagi- pasal 235.
-     Ketua Pengadilan melapor kepada Ketua Pengadilan Tinggi dasar2 dari permohonan banding yang dimaksud:
o    Tentang pasal-pasal dakwaan
o    Pokok-pokok amar putusan Pengadilan Negeri,
o    Pendapat dari Ketua Pengadilan Negeri tentang perlu/tidaknya terdakwa ditahan lebih lanjut.
o    Kalau ada kelalaian atau kekeliruan atau ada yang kurang lengkap, dimana Pengadilan Tinggi dapat menyuruh Pengadilan Negri harus memperbaiki atau membatalkan penetapannya sebelum putusan pengadilan dijatuhkan- pasal 240.

2.3  Perkara Perdata Kasasi (Permohonan Pembatalan Putusan)
Alasan2 yang memungkinkan:
-     Pengadilan lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh Undang Undang,
-     Pengadilan melampaui batas-batas wewenangnya,
-     Pengadilan salah dalam menerapkan hukum,
-     14 hari untuk menyatakan kasasi ke Makamah Agung (biaya= Rp 500,000)
-     Kirim meori kasasi kepada lawan kira kira dalam 30 hari setelah tanda penerimaan.
-     Kontra memori kasasi kira kira dalam waktu 14 hari.
-     Panitera mengirimkan berkas kasasi ke Makamah Agung, dijilid sesuai peraturan      yang berlaku.

2.4  Perkara Pidana Kasasi (244-258 KUHAP atas dasar pasal 10(3) UU Kekuasaan Hakim.)
Peradilan dalam tingkat kasasi ini bukanlah peradilan dalam bentuk instantsi tingkat ke III di atas banding, karena Hakim kasasi tidak memeriksa perkara itu dari awal, ia hanya menyelidiki apakah hakim yang lebih rendah itu telah menerapkan hukum dengan tepat.
Putusan bebas tidak bisa diajukan kasasi- pasal 244, 245 (1) KUHAP. Pemeriksaan dll liat KUHAP pasal 244-258. Tata caranya terdapat dalam pasal 259, 260, 261, 261 KUHAP.
14 hari setelah putusan pengadilan, Panitera wajib:
-     Memberikan surat keterangan/ permohonan kasasi;
-     Memberitahu pihak lainnya,
-     Memberi memori kontra kepada pihak lainnya,
-     Memberi kesempatan untuk pihak lainnya mempelajari permohonan kasasi,
-     Dalam 14 hari setelah berakhir tenggang waktu, Panitera mengirim berkas ke
      Makamah Agung- pasal 248 (6)

Pada waktu terdakwa dalam status tahanan, Makamah Agung harus diberitahukan, sesuai dengan pasal 253 KUHAP:
-         Tentang adanya permohonan kasasi tersebut,
-         Tentang pasal-pasal yang didakwakan,
-         Amar tingkat putusan yang dimohonkan kasasi,
-         Data-data tentang tahanan terdakwa,
-         Pendapat Ketua Pengadilan Negeri tentang perlu/ tidaknya terdakwa ditahan lanjut.
KASASI demi kepentingan umum (pasal 259-262):
-     Dilaksanakan oleh Jaksa Agung,
-     Putusan Kasasi demi kepentingan hukum tidak boleh merugikan pihak yang berkepentingan.

2.5  Perkara Perdata Peninjauan Kembali
Peninjauan Kembali diajukan dalam tenggang waktu 180 hari setelah putusan/penetapan mempunyai kekuasaan hukum tetap, atau sejak diketemukan bukti-bukti baru atau bukti-bukti adanya penipuan.
-     Rp 2,500.000 harus dibayar ke Panitera Pengadilan Tingkat Pertama
-     Dalam tempo 14 hari Panitera memberitahukan salinan permohonan PK kepada pihak   lainnya, dengan alasan2 dan pihak lawan harus menjawab dalam tempo 30 hari.
-     Berkas yang sudah sedemikian rupa disusun akhirnya dikirim ke Makamah Agung.

Alasan2 PK:
-     Apabila keputusan didasarakan atas suatu kebohongan atau tipu muslihat dari pihak lawan yang diketahui setelah perkara diputus atau pada suatu keterangan saksi atau surat-surat bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;
-     Apabila setelah diputus, diketemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan, yang pada batas waktu perkara diperiksa tidak dapat diketemukan,
-     Apabila dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari yang dituntut.
-     Apabila mengenai suatu bahagian dari tuntutan belum diputus tampa dipertimbangkan sebab-sebabnya,
-     Apabila antara pihak-pihak yang sama, mengenai soal yang sama, atas dasar yang sama, oleh pengadilan yang sama atau sama tingkatannya telah diberikan putusan yang satu dengan yang lainnya saling bertentangan.
-     Apabila dalam satu putusan terdapat ketentuan-ketentuan yang bertentangan dengan yang lainnya (pasal 67 UU no 14 1985).

2.6  Perkara Pidana Peninjauan Kembali
Tidak bisa terhadap putusan bebas. Ketentuan-ketentuan lain untuk jaksa liat KUHAP pasal 263- 269.
-     Panitera wajib menanyakan alasan-alasannya dan untuk itu Panitera harus membuat surat permintaan Peninjauan Kembali kepada Jaksa Penuntut Umum.
-     Menyediakan berita acara pemeriksaan Peninjauan Kembali tentang alasan Peninjauan Kembali yang ditandatangani oleh Hakim, Jaksa, Pemohon dan Panitera.
-     Berita acara pendapat Ketua Pengadilan Negeri tentang Peninjauan Kembali,
-     Permintaan Peninjauan Kembali yang dilampiri berkas perkara semula, berita acara pemeriksaan dan berita acara pendapat dikirim ke Makamah Agung dengan pos tercatat yang tembusan surat pengantarnya disampaikan kepada pemohon dan jaksa.
Alasan2 PK:
-     Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan,
-     Apabila dalam berbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain;
-     Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata;
-     Apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu permidanaan= pasal 263 (3) KUHAP.

Makamah Agung dapat menjatuhkan putusan berupa:
-         putusan bebas,
-         putusan lepas dari segala tuntutan hukum;
-         putusan tidak dapat menerima tuntutan penuntut umum,
-         putusan dengan menerapkan ketentutan pidana yang lebih ringan.

2.7  Perkara Pidana Grasi
-     Dapat diajukan oleh terpidana sendiri, keluarga dan kuasanya kepada Presiden melalui Panitera Pengadilan Negeri setempat, tempat dimana terpidana diadili pada tingkat agama pertama.
-     Tenggang waktu penangguhan pelaksanaan putusan 14 hari sesuai UU Grasi No 3 1950:
o    Surat penolakan tegas atau penerimaan grasi yang telah diajukan kepada Presiden,
o    Bentuk grasi yang diberkan apabila ada,
o    Keterangan tentang status orang yang dipidana:
§     Apakah belum atau telah/ sedang menjalani pidana atau pidana pengganti,
§     Jika belum, ada di dalam/ luar tahanan,
§     Jika dijatuhi pidana denda, apalah sudah lunas dibayar atau belum atau menyalami pidana pengganti;
§     Jika dijatuhi pidana tambahan berupa peramapasan barang bukti, dimana barang itu tetap disimpan, diuangkan, dsb.
§     Berkas perkara semula disertai dengan surat permohonan grasi, saran/ pendapat Hakim dan surat-surat lainnya dikirimkan ke Kejaksaan Negeri untuk dilanjutkan ke Makamah Agung RI.

Macam2 Register:
a. Pengadilan Negeri
1. Perkara Perdata
a. Register Induk Perkara Perdata Gugatan, b. Register Induk Perdata Pemohonan,
c. Register Permohonan Banding, d. Register Permohonan Kasasi,
e. Register Permohonan Peninjauan Kembali, f. Register Surat Kuasa khusus,
g. Register Penyitaan barang tidak bergerak, h. Register Penyitaan barang bergerak,
i. Register Somasi (tegoran), j. Register eksekusi/ fiat eksekusi.
2. Perkara Pidana
a. Register Induk Perkara Pidana Biasa, b. Register Induk Perkara Pidana Singkat,
                       i. Register Perkara Pidana Cepat,
ii.Register Perkara Lalu Lintas,
c. Register Penahanan, d. Register Izin Penggeledahan,
e. Register Izin Penyitaan, f. Register Barang Bukti,
g. Register Permohonan Banding, h. Register Permohonan Kasasi,
i. Register Praperadilan, j. Register Permohonan Peninjauan Kembali
k. Register Permohonan Grasi/ Remisi.
b. Pengadilan Tinggi
1. Perkara Perdata
a. Register Perkara Banding

2. Perkara Pidana
a. Register Perkara Banding, b. Register Penahanan,
c. Register Barang Bukti,
Jenis Klasifikasi Perkara Pidana:
1. Kejahatan terhadap keamanan negara,
2. Kejahatan terhadap martabat Presiden/ Wakil,
3. Kejahatan terhadap Negara Sahabat dan terhadap Kepala Negara Sahabat dan Wakilnya,
4. Kejahatan terhadap melakukan kewajiban dan hak kenegaraan.
5. Kejahatan terhadap ketertiban umum,
6. Kejahatan yang membahayakan keamanan umum bagi orang atau barang,
7. Kejahatan terhadap penguasa umum, 8. Sumpah/ Keterangan Palsu,
9. Pemalsuan uang, 10. Pemalsuan Merek/ Materai,
11. Pemalsuan Surat, 12. Kejahatan terhadap asal-usul dan perkawinan,
13. Kejahatan kesusilaan, 14. Kejahatan Perjudian,
15. Meninggalkan orang yang perlu ditolong, 16. Penghinaan,
17. Membuka rahasia, 18. Kejahatan terhadap kemerdekaan orang lain,
19. Kejahatan terhadap nyawa, 20. Penganiayaan,
21. Menyebabkan mati/ luka,
22. Pencurian,
23. Pemerasan dan Pengancaman,
24. Penggelapan,
25. Penipuan,
26. Merugikan Pemiutang atau orang yang berhak,
27. Menghancurkan atau merusak barang,
28. Kejahatan jahatan,
29. Kejahatan Pelayanan,
30. Penadahan,
31. Kejahatan Penerbitan dan percetakan, 32. Tindakan Pidana Ekonomi,
33. Pemerasan dan korupsi, 34. Tindakan Pidana Subversi,
35. Tindakan Pidana Narkotika, 36. Tindakan Pidana Agama,
37. Tindakan Pidana Imigrasi, 38. Tindakan Pidana Devisa,
39. Tindakan Pidana Lain, 40. Tindakan Pidana Koneksitas,
41. Tindakan Pidana Lingkungan Hidup.

Klasifikasi Hukum Perdata dan Adat
1. Orang dan Kewarganegaraan, 2. Hubungan keluarga, perkawinan dan perceraian,
3. Warisan, 4. Tanah,
5. Benda (bukan tanah) 6. Perikatan,
7. Perjanjian Kerja, 8. Hibah dan Wakaf,
9. Lain-lain.
 
Klasifikasi Hukum Dagang
1. Koperasi dan Firma,
2. Perseroan,
3. Perbankan,
4. Surat Berharga, Bursa dan Saham,
5. Asuransi
6. Pengangkutan,
7. Perusahaan,
8. Kebangkrutan,
9. Dll.
Selama terhadap putusan itu masih dapat dilawan, dibanding atau dimintakan kasasi, maka selama itu keputusan tersebut belum menjadi tetap dan tidak dapat dilaksanakan.

PROSEDUR PENGADILAN DI INDONESIA - PIDANA - PENYIDIKAN (2)
Hubungan Koordinasi Fungsional dan Instansional Dalam Rangka Penerapan KUHAP di dalam pelaksanaan penyidikan
1. Hubungan antara penyidik dengan penuntut umum, antara lain tentang:
a. Mulainya penyidikan dan kewajiban pemberitahuan kepada penuntut umum – pasal 109 (1)
b. Perpanjangan penahanan untuk kepentingan penyelesaian penyidikan – pasal 24 (2)
c. Perberhentian penyidikan yang diberitahukan kepada penuntut umum- pasal 109 (2)
d. Penyerahan berkas perkara hasil penyidikan kepada penuntut umum- pasal 110 (1)
e. Penyidikan tambahan berdasarkan petunjuk umum dalam hal berkas perkara dikembalikan kepada penyidik karena kurang lengkap: berdasarkan KUHAP dan dengan memperhatikan instruksi bersama Kapolri- Jaksa agung.
2. Hubungan antara penyidik dengan pengadilan, antara lain tentang:
a. Penggeledahan rumah – pasal 33 KUHAP, b. Penyitaan- pasal 34 (1)- (3),
c. Pemeriksaan surat- pasal 47, d. Acara pemeriksaan tindak pidana ringan- pasal 205,
e. Acara pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas jalan- pasal 211- 216.
3. Hubungan antara penyidik dengan penyidik pejabat pegawai negeri sipil tertentu antara lain  tentang:
a. Koordinasi dan pengawasan- pasal 7 (2)
b. Pemberian petunjuk dan bantuan, laporan dimulainya penyidikan dan penghentian penyidikan serta penyerahan hasil penyidikan- 107 (1)-(3)
 
4. Hubungan antara penyidik dengan penasehat hukum:
a. Dalam hal penasehat hukum menyalah-gunakan hubungan dan pembicaraan dengan tersangka- pasal 70 (1)- (4),
b. Pengawasan penyidik dalam hal penasehat hukum berhubungan dengan tersangka dan dalam hal penasehat hukum mendampingi tersangka yang diperiksa oleh penyidik- pasal 71 dan 115.
5. Perlindungan Hak Asasi Manusia dalam KUHAP yang mengatur tindakan atau perlakuan aparatur penegak hukum terutama pejabat Polri sehingga tidak terjadi pelanggaran atas HAM tersangka/ terdakwa:
a. Code of Condut for law Enforcement Office (1979),
b. Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse Power (1985),
c. Basic Principle on Use and Force and Firearms by law enforcement Officials (1990).
PENYELIDIKAN
Penyelidik adalah setiap polisi negara Republik Indonesia untuk melakukan penyelidikan, mulai dari pangkat yang paling rendah (Bharada) sampai pangkat yang paling tinggi yaitu Jenderal Polisi (Pasal 1(4), 4 KUHAP).
Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidikan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam UU ini (Pasal 1 butir 5).
Tujuan penyelidikan adalah untuk mengetahui apakah suatu tindak pidana benar telah terjadi dan siapa pelakunya, hasil penyelidikan mana yang akan dipergunakan sebagai bahan persiapan untuk melakukan penindakan.

Rencana penyelidikan tersebut harus memuat tentang:
1. Sumber informasi yang perlu dihubungi (orang, instansi, badan, tempat, dll)
2. Informasi atau alat bukti apa yang dibutuhkan dari sumber tersebut (yang bermamfaat untuk pembuktian tindak pidana,
3. Cara memperoleh informasi atau alat bukti tersebut (terbuka, tertutup, wawancara, introgasi, pemotretan, dsb.
4. Petugas pelaksana,
5. Batas waktu kegiatan.

Karena kewajibannya, wewenang penyelidik termasuk (Pasal 5):
1. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana;
2. Mencari keterangan dan barang bukti;
3. Menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri
4. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab;
Atas perintah penyidik (Pejabat Negara RI, Pejabat Pegawai Negri Sipil tertentu), dapat juga melakukan tindakan berupa:
1. Penangkapan, larangan meninggalkan tempat penggeledahan dan penyitaan,
2. Pemeriksaan dan penyitaan surat,
3. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang,
4. Membawa dan menghadap seorang kepada penyidik.
Pasal 9 juga memberi wewenang kepada penyelidik dan penyidik untuk menyelidiki peristiwa kejahatan yang terjadi di wilayah dimana ia diangkat atau dia bertugas, akan tetapi tidak ditutup kemungkinan untuk mengadakan penyelidikan di wilayah lain dengan terlebih dahulu mengadakan koordinasi dengan komandan wilayah setempat. Bahkan dapat mengadakan penyelidikan ke luar negri dengan seizin negara yang bersangkutan.
Hasil pelaksanaan ini dilaporkan di dalam Berita Acara Penerimaan Laporan ke penyidik untuk kemudian dilanjutkan dengan memanggil atau menangkap orang orang yang terlibat dalam perkara tersebut- pasal 5(2), dan berisikan:
1. Sumber data/ keterangan,
2. Data/ keterangan apa yang diperoleh dari setiap sumber tersebut,
3. Barang bukti,
4. Analisa,
5. Kesimpulan tentang benar/tidaknya telah terjadi tindak pidana dan siapa pelakunya,
6. Saran tentang tindakan2 apa yang perlu diperlakukan dalam tahap penyidikan selanjutnya.
Suatu peristiwa harus terlebih dahulu dilakukan penyelidikan, kemudian dilanjutkan dengan penyidikan.
Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tidak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. (Pasal 1 butir 2).
Perlu diperhatikan pasal 9 (2) UU no14 (1970), bahwa pejabat yang dengan sengaja melakukan penangkapan, penuntutan atau pemeriksaan di Pengadilan secara melawan hukum dapat dipidana sebagaima diatur dalam pasal 422, 429, 430 dan 431 KUHP. 
Para petugas diwajibkan untuk membuat berita acara untuk setiap tindakan yang dibuat dibawah sumpah jabatan dan ditanda-tangani oleh semua pihak yang terlibat dalam tindakan tersebut tentang (Pasal 75 (1), (2), (3)):
1. Pemeriksaan tersangka;
2. Penangkapan,
3. Penahanan,
4. Penggeledahan,
5. Pemasukan Rumah,
6. Penyitaan Benda,
7. Pemeriksaan Surat,
8. Pemeriksaan Saksi,
9. Pemeriksaan di tempat kejadaian,
10. Pelaksanaan penetapan dan putusan pengadilan,
11. Pelaksanaan tindakan lain sesuai dengan ketentuan dalam KUHAP,
Pasal- pasal lain yang bersangkutan: pasal 102 103, 104, 105 dan 111.
BANTUAN HUKUM
Azas/ hak-hak tersangka dalam menerima bantuan hukum, diatur dalam pasal 69 s/d 74, 115 (1), 156  KUHAP dan pasal 35-38 UU no 14 (1970).
1. Penasehat hukum berhak menghubungi tersangka sejak saat ditangkap menurut tata cara yang ditentukan dalam KUHAP,
2. Penasehat hukum berhak menghubungi dan berbicara pada tersangka pd setiap tingkat pemeriksaan dan tiap waktu untuk kepentingan pembelaannya (Pasal 71 (1)),
3. Penasehat hukum dapat meminta turunan berita acara pemeriksaan untuk kepentingan pembelaannya (Pasal 72),
4. Penasehat hukum berhak menerima dan mengirim surat kepada tersangka (Pasal 73), dll.
Pengurangan kebebasan antara penasehat hukum dan tersangka didapat pada pasal 70 (2), (3), (4) dan 71, dilarang setelah perkara dilimpahkan oleh penuntut umum kepada pengadilan negeri untuk disidangkan.
Untuk informasi leih lanjut tentang pemberian bantuan hukum, liat Keputusan menteri Kehakiman M.01 UM 08 10 tahun 1981/ pg 113 Hukum acara pidana dalam teori dan praktek.

PENYIDIKAN TINDAK PIDANA BIASA
Setelah hasil penyelidikan telah dilaporkan dan diuraikan secara rinci, maka apabila ada cukup bukti-bukti permulaan untuk dilakukannya penyidikan, maka tahap penangganan selanjutnya adalah melakukan penindakan.
Penindakan adalah melakukan tindakan-tindakan hukum yang langsung bersinggungan dengan hak-hak asasi manusia yaitu berupa pembatasan bahkan berupa ”pelanggaran” terhadap hak-hak asasi manusia untuk memperjelas segala sesuatu tentang tindak pidana tersebut. Pasal 7 KUHAP:
  a.  Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana:
Laporan adalah tindakan seseorang untuk memberitahukan kepada penyelidik atau penyidik bahwa suatu tindakan pidana telah terjadi atau dilakukan oleh seseorang dimana tindakan tersebut harus dituntut. Laporan tidak dapat ditarik kembali karena apabila ditarik kembali, hal itu merupakan laporan palsu, maka bagi si pelapor diancam dengan pidana. Namun, barang siapa mengetahui telah terjadinya suatu tindakan pidana, tapi tidak melaporkannya, dapat dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 1 tahun, 4 bulan- Pasal 164 KUHAP. 
Pengaduan adalah laporan khusus mengenai tindakan pidana aduan, tindak pidana mana jika tidak ada permintaan dari orang yang kena perkara tidak bisa diadakan penuntutan. Dapat ditarik dalam waktu 3 bulan.
  b.  Melakukan tindakan pertama pada saat ditempat kejadian:
Setelah menerima laporan atau pengaduan dari seseorang maka penyidik mengecek kebenaran laporan atau pengaduan tersebut dengan memeriksa di tempat kejadian, yaitu dengan mencari dan mengumpulkan bahan bahan keterangan dan bukti yang dapat digunakan untuk melakukan kejahatan, bekas-bekas tanda penganiayaan, pembunuhan atau tetesan darah korban selanjutnya difoto atau direkam, keterangan para saksi dan akhirnya disusun kesimpulan sementara.
  c.  Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka,
  d.  Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan,
Penangkapan tidak dapat dilakukan secara sewenang-wenang, karena hal itu melanggar hak asasi manusia. Untuk menangkap seseorang, maka penyidik, penuntut umum atau hakim yang bersangkutan harus mengeluarkan surat perintah penangkapan disertai alasan2 penangkapan, jati diri yang akan ditangkap dan uraian singkat sifat perkara kejahatan yang dipersangkakan.
Perintah penangkapan baru dikeluarkan kalau sudah ada dugaan keras telah terjadi tindak pidana disertai pula bukti permulaan yang cukup (diukur berdasarkan kewajaran). Ada juga 2 syarat-syarat untuk melakukan penahan:
    1.   Syarat subyektif:
           Apabila tersangka mau melarikan diri, merusak/ menghilangkan barang bukti dan    
           mengulangi melakukan tindakan pidana.
    2.    Syarat obyektif:
Tindak pidana tersebut diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih,
Tindak pidana sebagaimana diatur pasal 21 ayat (4) (b) KUHAP, yaitu ancaman hukumannya kurang dari 5 tahun, meliputi pasal pasal diluar KUHAP seperti pasal 25, 26 Ordonnansi Bea, pasal 1,2,4,UU tindak Pidana Imigrasi dan pasal 36 ayat (7), 41,42,42,47 dan 48 UU tentang Narkotika, dll.
Tampa surat perintah penangkapan, tersangka dapat menolak petugas yang bersangkutan. Dalam hal tertangkap tangan, maka penangkapan dilakukan tampa surat perintah, tapi penyidik harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada penyidik pembantu terdekat- pasal 18.
Penahanan diatur dalam pasal 20, 24, 25, 26, 27, 28, 29. Apabila penahanan ternyata tidak sah, tersangka atau terdakwa berhak meminta ganti rugi sesuai dengan ketentuan yang dimaksud dalam pasal 95 dan 96 KUHAP. Tetapi perlu diingat, bahwa ada suatu perkecualian dari jangka waktu penahanan yang diberikan oleh setiap pejabat yang disebutkan dalam pasal 24 s/d 28, maka penahanan terhadap tersangka dapat diperpanjang lagi dengan dasar- pasal 29:
a.   Tersangka atau terdakwa menderita gangguan fisik atau mental yang berat;
b.   Perkara yang sedang diperiksa, diancam dengan hukuman penjara 9 tahun atau lebih.
Tujuan penahanan adalah untuk memudahkan pemerikasaan, maka kesempatan tersangka untuk melarikan diri atau mempengaruhi saksi yang mengetahui perbuatan tersangka dapat dicegah dan akan lebih mudah untuk penuntut umum menghadirkannya di dalam persidangan.
Tindak pidana yang dapat dilakukan penahanan (KUHP):
-     Pasal 282 (3)- pelanggaran kesusilaan atau pornografi sebagai mata pencaharian,
-     Pasal 296- persundalan atau prostitusi,
-     Pasal 335 (1)- tindak pidana paksaan dengan perbuatan tak menyenangkan,
-     Pasal 353 (1)- penganiayaan yang direncanakan terlebih dahulu,
-     Pasal 372- penggelapan,
-     Pasal 378- penipuan,
-     Pasal 379 (a)- penipuan dalam hal jual beli
-     Pasal 453- menghentikan pekerjaan
-     Pasal 454- desersi,
-     Pasal 455- desersi,
-     Pasal 459- tindak pidana insubordinasi,
-     Pasal 480- penadahan,
-     Pasal 506- germo,
-     Pasal 25 dan 26 LN 1931 No. 471 pelanggaran terhadap ordonansi bea cukai.
-     Pasal 36 (7), pasal 41, 42, 43, 47, 48, UU no 9 (1976) LN No 37, TLN No 3086, pelanggaran terhadap Undang- Undang Narkotika.
-     Semua tindak pidana yang diancam dengan penjara 5 tahun atau lebih.
Menurut pasal 123, tersangka, penasehat hukum atau keluarganya dapat mengajukan permohonan untuk dikeluarkan dari tahanan.
Jenis penahanan- pasal 22:
a.      Penahanan Rumah Tahanan Negara,
b.      Penahanan Rumah,
c.       Penahanan Kota.

Pengalihan penahanan- pasal 23:
Pengalihan jenis penahanan dinyatakan secara tersendiri dengan surat perintah dari penyidik atau penuntut umum atau penetapan hakim yang tembusannya diberikan kepada tersangka atau terdakwa serta keluarganya dan instansi yang berkepanjangan.

           Penangguhan penahanan- pasal 31:
Dapat dilakukan dengan jaminan orang atau dengan jaminan uang sebagaimana diatur dalam PP No27 (1983) pada pasal 35 dan 36.
            PENGELEDAHAN
KUHAP yang mengatur tentang pengeledahan: pasal 5 (1) (b),32,33,34,35, 36,37,75,125,126. Tujuannya adalah untuk mencari bukti2. Harus ada surat  
izin dari ketua pengadilan negeri setempat kecuali dalam keadaan yang sangat mendesak. Seterusnya, berita acara pengeledahan harus dibuat oleh pihak yang berwajib.

            PENYITAAN BARANG- BARANG (38- 46)
Alat-alat atau barang-barang yang dipakai untuk melakukan kejahatan perlu diadakan penyitaan atau diamankan untuk memberikan keyakinan kepada hakim bahwa tersangkalah yang telah melakukan tindak pidana itu.
Apabila penyidik akan menyita suatu barang, maka barang yang akan disita itu terlebih dahulu harus diperlihatkan kepada pemiliknya atau keluarganya untuk dimintai keterangan, disaksikan oleh pejabat setempat (RT, RW atau Kepala Desa) dengan 2 orang saksi lainnya.
Apabila perkaranya sudah diputus, maka benda itu dapat dikembalikan, kecuali jika menurut putusan tersebut, benda itu dirampas untuk negara atau dimusnahkan atau digunakan sebgai barang bukti dalam perkara lain.
  e.  Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat,
Penyidik dapat menyita surat yang dikirim melalui kantor pos, dengan seizin ketua pengadilan negeri. Pasal- pasal yang mengaturnya adalah pasal 132 (2) s/d 5, pasal 47 (1), 48. 
  f.  Mengambil sidik jari dan memotret seseorang,
Untuk melengkapi dokumen kepolisian, maka penyidik perlu mengambil sidik jari dan memotret tersangka. Hal ini untuk memudahkan petugas kepolisian untuk mencari identitas tersangka apabila ia mengulangi tindak pidana lagi.
  g.  Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi
Dari tersangka dan saksi, akan diperoleh keterangan- keterangan yang akan dapat mengungkapkan segala sesuatu tentang tindak pidana yang terjadi. Kesehatan saksi atau tersangka juga penting; dalam keadaan sakit tidak dapat diperiksa. Penyidik juga harus menghindarkan pertanyaan-pertanyaan yang menimbulkan perdebatan dan yang menyinggung perasaan dan membangkitkan rasa emosional antara penyidik dengan tersangka atau saksi.
Ketentuan2 yang harus diperhatikan oleh penyidik terhadap tersangka termasuk pasal 1 bab 1 (ketentuan umum), Bab VI- 50-68, 114, 115, 133, 422, dan hak hak tersangka yang diatur UU no 14 (1970), pasal 5, 28, 50,54, 55, 56, diantaranya:
1. asas persamaan di muka umum,
2. asas perintah tertulis dari pejabat yang berwenang,
3. asas praduga tidak bersalah,
4. asas perberhentian ganti kerugian dan rehabilitasi,
5. asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan,
6. asas peradilan yang bebas dan jujur serta tidak memihak,
7. asas memperoleh bantuan hukum seluas-luasnya (liat diatas),
8. asas pemberitahukan dakwaan dan dasar dakwaan,
9. asas hadirnya dakwaan,
10. asas pemeriksaan di muka umum,
11. asas pengawasan dan pelaksanaan putusan,
12. asas opportunitas,
13. asas kejaksaan sebagai penuntut tunggal dan kepolisian sebagai penyidik tunggal,
14. asas pra peradilan,
15. asas pemeriksaan langsung,
16. asas personalitas aktif,
17. asas personalitas pasif.   
Pemeriksaan permulaan (184 (1) KUHAP) harus sudah dapat mengungkapkan perbuatan tersangka:
-     Tindak pidana apa yang telah dilakukan oleh tersangka,
-     Apa yang menjadi modus operandinya untuk melakukan perbuatan tersebut,
-     Siapa saja yang terlibat dalam perbuatan tersebut, serta peranan masing masing mereka yang terlihat,
-     Dalam rangka ini pula dapat menentukan apakah barang bukti yang telah disita mempunyai peranan atau tidak.
Pembatasan kebebasan tersangka dengan penasehat hukumnya: pasal 71.
Terhadap saksi saksi:
1.    Apakah seorang saksi mempunyai hubungan keluarga atau kerja dengan tersangka?
2.    Apabila ada perbedaan keterangan antara 1 saksi dengan yang lainnya, supaya para  saksi itu diprtemukan satu dengan yang lain.
Liat pasal2 tentang saksi: 117 (1)- tampa tekanan, 116 (1)- tidak disumpah kecuali ada cukup alasan. 
  h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara,
Sebelum memberikan keterangannya maka ahli tersebut mengangkat sumpah atau mengucapkan janji di muka penyidik bahwa ia akan memberikan keterangan sebaik baiknya kecuali bila disebabkan karena harta serta martabat, pekerja atau jabatannya yang tidak mewajibkan ia menyimpan rahasia dapat menolak untuk memberikan keterangan yang diminta. Hal ini supaya para ahli tidak perlu didatangkan di sidang.
Pasal2 yang berhubungan dengan saksi ahli: pasal 132 (2) (5), 133 (1), 133 (2), 133 (3), 135.
  i. Mengadakan penghentian penyidikan;
Apabila tidak terdapat bukti yang cukup atau peristiwa tersebut ternyata bukan perkara pidana, atau penyidikan diberhentikan demi hukum, maka penyidik harus memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya dan pelapor agar menghindarkan kemungkinan diajukannya pra peradilan. (Keputusan Mentri Kehakiman RI no M 14-PW 07,03 tahun 1983 tenntang tambahan pedoman pelaksanaan KUHAP butir 11. Apabila perkara cukup memenuhi syarat syarat sesuai dengan ketentuan, tibalah saatnya untuk melimpahkan perkara tersebut kepada pengadilan Negeri yang berwenang.
  j.  Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Hubungan penyidik dan penuntut umum:
1. Penyidik menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum (pasal 8 (14) a, 110 (1),
2. Penuntut umum memberikan perpanjangan penahanan atas permintaan penyidik- pasal 14 c, 24 (2),
3. Dalam hal penuntut umum berpendapat hasil penyidikan belum lengkap, ia segera mengembalikan kepada penyidik disertai petunjuk dan penyidik wajib melengkapinya dengan melakukan penyidikan tambahan- pasal 14 b, 110 (2)(3),
4. Dalam hal penyidik mulai melakukan penyidikan atau pemeriksaan memberitahukan hal itu kepada penuntut umum- pasal 119 (1),
5. Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan memberitahukan hal itu kepada penuntut umum- pasal 119 (2), sebaliknya dalam hal penuntut umum menghentikan penuntutan ia memberikan turunan surat ketetapan kepada penyidik- pasal 140 (2) c,
6. Penuntut umum memberikan turunan surat pelimpahan perkara, surat dakwaan kepada penyidik- pasal 143 (4), demikian pula dalam hal penuntut umum, mengubah surat dakwaan, ia memberikan turunan perubahan surat dakwaan itu kepada penyidik- pasal 144 (3),
7. Dalam acara pemeriksaan cepat, penyidik atas kuasa penuntut umum (demi hukum), melimpahkan berkas perkara dan menghadapkan terdakwa, saksi atau ahli, juru bahasa dan barang bukti pada sidang pengadilan
8. Konsekwensi dari angka 7 diatas, penyidik memberitahukan hari, sidang kepada terdakwa- pasal 207 (1) dan menyampaikan amar putusan kepada terpidana- pasal 214 (3).

Hubungan Penyidikan dengan Hakim/ Pengadilan:
1.   Ketua Pengadilan Negeri dengan keputusannya memberikan perpanjangan penahanan sebagaimana dimaksud pasal 29 atas permintaan penyidik,
2. Atas permintaan penyidik, Ketua Pengadilan negeri memberikan surat izin penggeledahan rumah atau penyitaan dan atausurat izin khusus pemeriksaan surat- pasal 33 (1), 38 (1), 43 dan 47 (1)
3.  Penyidik wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri atas pelaksanaan penggeledahan rumah, penyitaan yang dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak sebagaimana dimaksud pasal 34 (2) dan 38 (2).
4.  Penyidik memberikan kepada Panitera bukti bahwa surat amar putusan telah diserahkan kepada terpidana- pasal 214 (3),
5.  Panitera memberitahukan kepada penyidik tentang adanya perlawanan dari terdakwa- pasal 214 (7). 
 
Penyerahan Perkara ke Pengadilan
Definisinya adalah peristiwa beralihnya pimpinan dan pejabat yang berwenang mengadakan pemeriksaan pendahuluan/ penuntutan kepada pejabat yang berwenang untuk menentukan nasib dari perkara pidana itu- apakah dia bersalah atau tidak bersalah.
Dalam rangka mempersiapkan tindakan penuntutan penuntut umum berwenang untuk:
1. Menerima pemberitahuan dari penyidik dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana (pasal 109 ayat 1).
2. Menerima berkas perkara dari penyidik dalam tahap pertama (pasal 8 ayat (3) (a) untuk dipelajari dan diteliti.
3. Mengadakan prapenuntutan (pasal 14 (b) dengan memperhatikan ketentuan pasal 110 (3), (4) dan pasal 138.
4. Memberikan perpanjangan penahanan (pasal 24 (2), 21(2), 25, 29), melakukan penahanan rumah - pasal 22(2), penahanan kota - pasal 22 (3) dan mengalihkan jenis penahanan - pasal 23.
5. Atas permintaan tersangka atau terdakwa mengadakan penangguhan penahanan serta mencabut penangguhan penahanan dalam hal tersangka atau terdakwa melanggar syarat yang ditentukan- pasal 31.
6. Mengadakan penjualan lelang benda sitaan yang lekas rusak atau membahayakan karena tidak mungkin untuk disimpan sampai putusan pengadilan terhadap perkara itu memperoleh kekuatan hukum yang tetap atau mengamankannya dengan disaksikan oleh tersangka atau kuasanya- pasal 45 (1).
7. Melarang atau mengurangi kebebasan hubungan antara penasehat hukum dengan tersangka sebagai akibat disalah gunakan haknya- pasal 70 (4), mengawasi hubungan antara penasehat hukum dengan tersangka tampa mendengar isi pembicaraan- pasal 71 (1) dan dalam kejahatan terhadap keamanan negara penuntut umum dapat mendengar isi pembicaraan- pasal 71 (2).
8. Meminta dilakukan praperadilan kepada ketua pengadilan negeri untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan oleh penyidik- pasal 80,
9. Dalam perkara koneksitas, karena perkara pidana itu harus diadili oleh pengadilan dalam lingkunan peradilan umum, maka penuntut umum mnerima penyerahan perkara dari oditur militer dan selanjutnya kepada pengadilan yang berwenang- pasal 91(1).
10. Menentukan sikap apakah suatu berkas telah memenuhi persyaratan atau tidak untuk dilimpahkan ke pengadilan- pasal 139.
11. Apabila penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penidikan dapat dilakukan penuntutan, maka dalam waktu secepatnya ia membuat surat dakwaan- pasal 140 (1),
12. Membuat surat penetapan penghentian penuntutan- pasal 140(2) huruf a, karena:
13. Tidak terdapat cukup bukti,
14. Peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana,
15. Perkara ditutup demi hukum.
16. Melanjutkan penuntutan terhadap tersangka sebagaimana tersebut pada angka 12 karena terdapat alasan baru- pasal 140 (2) (d).
17. Mengadakan penggabunggan perkara- pasal 141,
18. Mengadakan pemecahan penuntutan terhadap satu berkas perkara yang memuat beberapa tindak pidana yang memuat beberapa tindak pidana yang diberlakukan beberapa orang tersangka- pasal 142,
19. Melimpahkan perkara ke pengadilan negeri dengan diserrai surat dakwaan- pasal 143(2),
20. Untuk maksud penyempurnaan atau tidak melanjutkan penuntutan, penuntut umu dapat mengubah surat dakwaan sebelum pengadilan menetapkan hari sidang atau selambat-lambatnya 7 hari sebelum sidang dimulai- pasal 144.

Tampa surat dakwaan yang dibuat Jaksa (Pasal 14 (d)), maka terdakwa tidak dapat diadili. Syarat- syarat surat dakwaan:
1. Syarat formil: harus dibuat nama lengkap, umur, tempat tinggal, tempat kelahiran, pekerjaan, dll,
2. Syarat materieel: berisi perbuatan-perbuatan, tempat ( agar kekuasaan pengadilan yang bersangkutan tau dimana kewenangannya untuk mengadili perkara tersebut) dan waktu tindak pidana itu dilakukan dan segala keadaan atau masalah yang mendahului, menyertai atau mengikuti perbuatan itu yang dapat memberatkan atau meringankan terdakwa yang harus disusun sedemikian rupa, sehingga perumusannya memuat segala unsur tindak pidana yang dikenakannya atau yang didakwakan. Surat dakwaan ini harus terang, detailed dan jelas, dapat dimengerti oleh terdakwa supaya dia dapat melakukan pembelan yg efektip.

Beberapa cara menyusun surat dakwaan:
1. Sistem kumulatip: bila terdakwa melakukan beberapa tindak pidana yang satu sama lain tidak ada hubungannya, misalnya ke I, II, II...
A didakwa:
Ke I- tindak pidana pencurian...
Ke II- tindak pidana penggelapan...
Ke III- tindak pidana penganiayaan...
2. Sistem Alternatip: dalam sistem ini juga ada beberapa tindak pidana yang dilakukannya, tapi disusun sedemikian rupa, hingga pada akhirnya hanya satu dakwaannya saja dapat dibuktikan yang mana saja yang lebih mudah di dalam sidang.
A didakwa:
Pencurian atau penggelapan atau penganiayaan atau dan selanjutnya....
3. Sistem Subsidair: pada umunya cara menyusunnya adalah dakwaan yang paling berat diuraikan terlebih dahulu.
A didakwa:
   Primair                       : Pencurian
         Subsidair                    : Penggelapan
   Lebih subsidair            : Penadahan
   Lebih Subsidair lagi      : ....
Tetapi, penyusun dapat mempergunakan sistem-sistem tersebut dan tidak terikat dalam suatu pokok2 tertentu.
Pengubahan surat dakwaan:
Penuntut Umum hanya diperbolehkan mengubah surat dakwaan sebelum ditetapkannya hari sidang perkara yang bersangkutan, 7 hari sebelum hari sidang dan ini harus diberitakan kepada terdakwa, penasehat hukumnya dan penyidik. Setelah ditetapkannya hari sidang segala bentuk perubahan atas surat dakwaan tidak diperkenankan KUHAP pasal 144.

Pembuktian Kesalahan Terdakwa (KUHAP 183 s/d 202, UU Pokok Kehakiman 6 (2)):
-     Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorng kecuali apabila dengan sekurang kurangnya 2 alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar beanr terjadi dan bahwa terdakwalah yang melakukan kesalahan:
o    Keterangan saksi,
o    Keterangan ahli,
o    Surat; pasal 187, berita acara, surat authentik seperti akte notaris, akte yang dibuat jurusita, atau oleh kantor catatan sipil, surat keputusan hakim, akte-akte yang dibuat dibawah tangan seperti surat sewa-menyewa, surat hutang-piutang wessel, dsb, surat-surat yang dapat dilegalisasi dihadapan pejabat yang berwenang, surat biasa seperto surat yang dibut seseorang ketika yang bersangkutan akan melakukan bunuh diri, dsb.
o    Petujuk- petunjuk; pasal 188, adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindakan pidana dan siapa pelakunya, seperti yang dibeberkan di atas.
o    Keterangan terdakwa.
-     Pembuktian harus dilaksanakan untuk mencegah jangan sampai menjatuhkan hukuman kepada orang yang tidak bersalah.
Penggabungan perkara menjadi satu:
Dilakukan demi kesederhanaan dalam menyelesaikan perkara apabila pada waktu yang sama atau hampir bersamaan ia menerima beberapa berkas perkara beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh seorang yang sama dan kepentingan pemeriksaan tidak menjadikan halangan terhadap penggabungannya, dll (141 KUHAP): 
Pemisahan perkara:
Apabila terdapat dalam 1 berkas perkara berupa perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh lebih dari 1 orang dan pula tidak ada keharusan untuk mengumpulkan beberapa berkas perkara menjadi 1, maka perkara itu dapat dipecah atau dipisahkan sehingga perkara itu menjadi beberapa berkas perkara dan dengan sendirinya untuk masing masing berkas harus dibuat surat dakwaannya. Juga pada waktudi dalam 1 perkara, seorang terdakwa tidak dibenarkan memberikan keterangan2 yang memberatkan terdakwa lainnya.

Putusan Dalam Pemeriksaan Biasa
Jika pemeriksaan dianggap selesai, hakim ketua sidang menyatakan bahwa pemeriksaan dinyatakan tertutup, dengan ketentuan dapat dibuka kembali, baik atas kewenangan hakim ketua sidang karena jabatannya, maupun atas permintaan penuntut umum atau terdakwa atau penasehat hukum dengan memberikan alasannya.
Sesudah itu hakim mengadakan musyawarah terakhir untuk mengambil keputusan dan apabila perlu musyawarah itu diadakan setelah terdakwa, saksi, penasehat hukum, penuntut umum dan hadirin meninggalkan ruang sidang:
1. Apabila perbuatan yang didakwakan tidak terbukti secara meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas;
2. Apabila terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus bebas dari segala tuntutan hukuman:
a. Orang gila- pasal 44,
b. Kejadian terjadi akibat yang diluar kemampuan seseorang,
c. Mempertahankan diri dari orang lain,
d. Karena menjalankan perintah jabatan seperti seorang algojo atau anggota regu tembak dalam pelaksanaan hukuman mati.
3. Apabila terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang dilakukannya, maka pengadilan menjatuhkan hukuman sebagaimana diatur oleh pasal 193 (1).  Hal ini diikuti pasal 196- hak hak terdakwa:
a. Hak segera menerima atau segera menolak putusan;
b. Hak mempelajari putusan sebelum menyatakan menerima atau menolak putusan, dalam  tenggang waktu yang ditentukan oleh UU ini,
c. Hak meminta penangguhan pelaksanaan putusan dalam tenggang waktu yang ditentukan   oleh UU untuk dapat mengajukan grasi, dalam hal ia menerima putusan;
d. Hak meminta diperiksa perkaranya dalam tingkat banding dalam tenggang waktu yang     ditentukan UU ini, dalam hal ia menolak putusan,
e. Hak mencabut pernyataan sebagaimana dimaksud huruf a dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh UU ini.

Pasal 197, perhatikan apa saja yang harus dimuat didalam suatu surat putusan yang apabila tidak dipenuhi ketentuannya, mengakibatkan putusan batal demi hukum. Dan surat ini harus ditanda-tangani oleh hakim dan panitera seketika setelah putusan itu diucapkan.
Perkara ditutup demi hukum
Apabila perkara dikesampingkan demi kepentingan umum oleh Jaksa Agung, penuntut umum tidak berwenang untuk mengadakan penuntutan terhadap tersangka dalam perkara tersebut dikemudian hari, artinya terhadap perkara yang telah dikesampingkan demi kepentingan umum tersebut.
Namun, tidak terbuka kemungkinan bagi penuntut umum untuk melakukan penuntutan terhadap tersangka apabila kemudian ada alasan baru-  pasal140 (2)(d)

Pelaksanaan Putusan
Wewenang Penuntut Umum dalam melaksanakan putusan pengadilan- pasal 14(j), 270 yang telah memperoleh hukum tetap dan panitera mengirimkan surat kepada jaksa- 197 (3).
Hukuman- hukuman pokok:
1. hukuman mati, diawasi oleh jaksa secara tuntas sampai terpidana ditembak mati
2. hukuman penjara, dapt dilakukan berdekatan dengan rumah tempat tingal keluarga terpidana setelah mendapat izin dari DIRJEN PEMASYARAKATAN di Jkt.
3. hukuman kurungan, yang biasanya diberikan kepada orang orang yang pernah berjasa pada negara dan patut dihormati.
4. hukuman denda.
Hukuman- hukuman tambahan:
1. pencabutan hak tertentu, pelepasan bersyarat- pasal 15 (3), pelepasan hukuman bersyarat- pasal 16 (1), (2) KUHAP- jaksa wajib meneruskan kepada instansi yang berwenang dengan amar putusan dilampirkan.
2. perampasan barang yang tertentu, (disita Jaksa), dimusnahkan, dilelang untk kas negara, dan apabila dalam keadaan tidak disita dapat diganti dengan kurungan-pasal 41 (1) KUHAP.
3. pengumuman keputusan hakim yang dinyatakan di dalam sidang terbuka untk umum di pengadilan, ditempel dipapan pengumuman pengadilan setempat dan di media masa yaitu koran-koran.
Jika terpidana dipidana penjara atau kurungan dan kemudian dijatuhi pidana yang sejenis sebelum ia menjalani pidana yang dijatuhkan terdahulu, maka pidana itu dijalankan berturut-turut, dimulai dengan pidana yang dijatuhkan lebih dahulu- pasal 272 KUHAP.
Apabila lebih dari satu orang dipidana dalam satu perkara, maka biaya perkara atau diharuskan mengganti kerugian, maka dibebankan kepada mereka bersama-sama secara berimbang- pasal 275 KUHAP.

HUKUM ACARA PERDATA
BW (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) mengandung peraturan- peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak di muka pengadilan dan bagaimana Hakim mempertahankan tata hukum perdata tersebut di dalam suatu perkara.  Bedanya hukum acara perdata dengan pidana adalah absennya pemeriksaan pendahuluan oleh petugas- petugas negara di dalam perdata.
 Sumber Hukum Acara Perdata
1.  UUD’ 45
2.  HIR (Stb 1941 no.44)
3.  Rbg (Stb 1927 no. 227)
4.  KUH Perdata (BW)
5.  UU no. 14/ 1985 tentang MA
6.  UU no. 2/ 1986 tentang Peradilan Umum,
7.  UU no. 14/ 1970 tentang Ketentuan- Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman,
8.  UU no. 1/ 1974 tentang Perkawinan,
9.  UU no. 35/ 1999 tentang Perubahan atas UU No.14/ 1970,
10. UU no. 23/ 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup,
11. UU no.8/ 1999 tentang Perlindungan Konsumen,
12. UU No.41/ 1999 tentang Kehutanan.
Asas- asas Hukum Acara Perdata termasuk:
1. Kebenaran Formil: tidak merupakan kebenaran yang sesungguhnya, dimana Hakim hanya sekedar menerima, meninjau, menilai bahan- bahan yang disampaikan di pengadilan yang kemudian Hakim mengambil keputusan berdasarkan bahan-bahan tersebut. 
2. Sidang harus terbuka untuk umum: Pasal 17 ayat 1, 2 UU no. 14/ 1970. Semia orang bebas untuk menghadiri dan mendengarkan jalannya sidang dan putusan tidak syah apabila putusan tidak diucapkan dalam sidang yang tidak terbuka untuk umum. Asas ini untuk menjamin obyektifitas pengadilan, pemeriksaan yang lebih fair dan keadilan.
3. Kekuasaan yang merdeka: tidak adanya campur tangan pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dalam peradilan (Pasal 1: UU no.14/ 1970).
4. Tidak memihak: (Pasal 5(1), 28 UU. No. 14/ 1970); pengadilan tidak membeda-bedakan orang, hak ingkar, seorang hakim tidak boleh terikat hubungan keluarga dengan yang diadili, dan hakim tersebut wajib mengundurkan diri.
5. Sederhana, cepat dan biaya ringan: sederhana- mudah dimengerti, dan tidak berbelit-belit, cepat- tidak terlalu banyak formalitas dan biaya ringan- murah untuk mendapatkan keadilan.  
CARA MENJALANKAN SUATU GUGATAN
Gugatan harus disertai dengan pembuktian yang cukup dan memuat:
1. Identitas pihak-pihak yang berperkara,
2. Dalil-dalil konkrit tentang adanya hubungan hukum yang merupakan dasar serta alasan-alasan gugatan,
3. Petitum atau permintaan penggugat kepada hakim yang tidak boleh bertentangan satu sama lainnya.

Contoh surat gugatan:
Perihal: Gugatan                                                                                                                Bandung, 15 April 1995
Kepada
Yth. Bapak Ketua Pengadilan Negeri Kl. I Bandung
Jl. Laks. L. Martadinatqa
Di BANDUNG

Dengan hormat,
Yang bertanda-tangan di bawah ini:
Nama................................., pekerjaan,...............bertempat tinggal di jalan.............. kelurahan........................, kecamatan........................., kotamadya......................., selanjutnya disebut PENGGUGAT, mohon menyampaikan gugatan terhadap:
Nama................................., pekerjaan....................., bertempat tinggal di jalan..............., selanjutnya disebut TERGUGAT.

Bahwa gugatan PENGGUGAT adalah sebagai berikut:
1. Bahwa pada tanggal 5 Oktober 1993, Haji..........., telah meninggal dunia di Jakarta dengan meninggalkan ahli waris     3(tiga) orang yakni:
1. istri, yakni PENGGUGAT,
2. anak,
3. anak.
(terbukti dari Fatwa penetapan ahli waris).
2. Bahwa semasa hidupnya almarhum Haji................., tepatnya pada tanggal 10 Maret 1998, memberikan pinjaman uang kontan sebesar Rp. 10.000.000 (sepuluh juta rupiah) kepada TERGUGAT untuk keperluan tambahan modal usahanya dengan perjanjian akan dilunasi sebulan kemudian, yakni tanggal 10 April 1998 (terbukti dari kuitansi tanggal 10 Maret 1998).
3. Bahwa sampai Haji..............., meninggal dunia sampai sekarang ini, bulan April 2002, TERGUGAT tidak pernah melunasi pinjamannya tersebut. PENGGUGAT telah berulangkali menagihnya, namun TERGUGAT tetap mengulur-ngulur waktu oleh karena itu tiada lagi jalan lain bagi PENGGUGAT selain menuntutnya lewat pengadilan.
4. Bahwa perbuatan TERGUGAT, tersebut jelas cidera janji dan sangat merugikan PENGGUGAT. Kerugian PENGGUGAT tersebut ialah tidak dikembalikannya pinjaman sebesar Rp10.000.000 (sepuluh juta rupiah) tersebut oleh TERGUGAT.

(1-4 adalah fundamentum petendi- dalil- dalil konkrit atau alasan-alasan gugatan)
 
5. Menyatakan sah menurut hukum piutang sebesar Rp 10.000.000 (sepuluh juta rupiah) almarhum Haji..............yang ada pada TERGUGAT yang merupakan peninggalan almarhum Haji...............yang jatuh kepada para ahli warisnya , satu diantaranya adalah PENGGUGAT:
6. Menyatakan TERGUGAT telah cidera janji;
7. Menghukum TERGUGAT membayar utangnya kepada PENGGUGAT SEBESAR Rp 10.000.000 (sepuluh juta rupiah);
8. Menyatakan sah dan berharga sita jaminan dalam perkaranya ini:
9. Menghukum TERGUGAT membayar kerugian kepada PENGGUGAT berupa keuntungan yang diharapkan sebesar 10% dari Rp 10.000.000 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap bulannya terhitung sejak bulan April 1998 sampai April 2002 atau selama 48 (empat puluh delapan) bulan hingga putusan perkara ini dilaksanakan,
10. Menghukum TERGUGAT membayar uang paksa kepada PENGGUGAT sebesr Rp 5000 (lima ribu rupiah), setiap hari ia lalai memenuhi isi putusan terhitung sejak putusan diucapkan hingga dilaksanakan;
11. Menyatakan putusan perkara ini serta merta dijalankan walau TERGUGAT VERZET, BANDING ATAU KASASI;
12. Menghukum TERGUGAT membayar biaya perkara:

(5-12 adalah petititum- apa yang diminta oleh tergugat kepada hakim)

Hormat Penggugat
.............................

Error- error yang dapat menjadi landasan penolakan gugatan:
1. Apabila penggugatnya belum dewasa, bukan orang yang mempunyai kepentingan, berada dibawah pengampunan atau karena kuasa atau wakilnya tidak memperoleh kuasa baik tertulis ataupun lisan atau ternyata surat kuasa tidak sah.
2. Si tergugat ternyata salah orang,
3. Yang dijadikan tergugat tidak lengkap.
4. Gugatan tidak jelas karena:
a. Tidak menjelaskan dasar hukum atau fakta-fakta gugatan.
b. Obyek yang dipersengketakan tidak jelas atau tidak berhasil ditemukan,
c. Penggabungan beberapa gugatan yang sebenarnya berdiri sendiri,
d. Dasar hukum dan putusan yang diharapkan saling bertentangan,
e. Petitium tidak terinci.
5. Apa yang digugat sudah pernah diperkarakan,
6. Sudah ada putusan pengadilan uang berkekuatan tetap dan pasti.
7. Obyek perkara, sama,
8. Subyek perkara, sama,
9. Materi pokok perkara, sama.
10. Gugat prematur, misalnya gugatan belum dapat diajukan karena utang belum jatuh tempo,
11. Gugatan tidak dapat dilakukan karena adanya pemeriksaan pada pengadilan lain dan berkaitan, misalnya;
a. Perkara yang diajukan sudah pernah diajukan, tetapi belum diputus;
b. Proses masih berlangsung di tingkat banding atau kasasi;
c. Dikesampingkan karena:
                                                               i.      Apa yang digugat telah dipenuhi,
                                                             ii.      Sudah dihapus sendiri oleh penggugat;
                                                            iii.      Telah melepaskan diri,
                                                           iv.      Daluarsa.

Kewenangan Hakim dalam mengadili sebuah kasus (Pasal 118 HIR, 142 Rbg):
1. Asas Actor Sequatur Forum Rei atau Forum Domicili- yang berwenang mengadili adalah Pengadilan Negeri tempat tinggal TERGUGAT berdasarkan KTP, kartu keluarga atau Surat Penetapan Pajak.
2. Asas Actor Sequator Forum Rei dengan Opsi atau pilihan. Apabila TERGUGAT terdiri dari beberapa orang, masing-masing bertempat tinggal di beberapa wilayah hukum yang berbeda. PENGGUGAT dapat memilih Pengadilan Negeri yang akan menanggani perkaranya yang dianggapnya paling menguntungkan baginya seperti dalam mengajukan saksi-saksi.
3. Asas Actor Sequatur Forum Rei tampa hak opsi. TERGUGAT terdiri dari beberapa orang, namun, dalam perkara utang-piutang, gugatan harus diajukan ke Pengadilan Negri tempat tinggal di penjamin atau guarantor.
4. Tempat tinggal penggugat. Dapat dilakukan di Pengadilan Negri tempat tinggal PENGGUGAT apabila tempat tinggal TERGUGAT tidak diketahui.
5. Forum Rei Sitae. Gugatan harus diajukan ke Pengadilan Negeri dimana barang tidak bergerak yang disengketakan terletak.
6. Forum Rei Sitae dengan hak Opsi. Penggugat dapat memilih PN yang menguntungkannya apabila obyek perkara lebih dari satu barang tidak bergerak yang terletak di beberapa daerah hukum Pengadilan Negri.
7. Domisili pilihan. Kedua belah pihak dapat menentukan domisili ke Pengadilan Negri mana gugatan akan diajukan.

Badan- badan peradilan berdasarkan pasal 10 (1) UU no. 14/ 1970:
1. Peradilan Umum,
2. Peradilan Agama,
3. Peradilan Militer,
4. Peradilan Tata Usaha Negara,
5. Majelis Pertimbangan Pajak,
6. Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan yang terdiri dari:
a. Wakil buruh,
b. Wakil pengusaha
c. Wakil pemerintah.
7. Arbitrase.
(Penting untuk gugatan karena apabila salah tempat, gugatan dianggap cacat hukum.)

SURAT KUASA
Definisi (pasal 1792 BW): Suatu persetjuan dimana seseorang bertindak sebagai pemberi kuasa dan pihak lain bertindak sebagai penerima kuasa untuk melakukan suatu perbuatan untuk dan atas nama pemberi kuasa.

Jenis- jenis surat kuasa:
1. Kuasa Umum,
2. Kuasa Istimewa,
3. Kuasa Perantara,
4. Kuasa berdasar hukum,
5. Kuasa lisan
6. Kuasa yang ditunjuk dalam surat gugat,
7. Surat Kuasa Khusus.

Contoh Surat Kuasa Khusus:

SURAT KUASA

Yang bertanda-tangan di bawah ini:
Dengan menerangkan dan mengaku telah memberi kuasa kepada Pengacara, berkantor di jalan............................ no................ tel no.................................

KHUSUS:
Untuk                :
Kepada              :
Dalam Perkara no.............. di.......................
Antara               :
Perihal              :

Untuk jelasnya pemegang surat kuasa tersebut, dikuasakan penuh untuk mewakili diri saya/kami, menghadap dan berbicara di muka Pengadilan Negeri Kl. I Medan, membuat dan menandatangani surat- surat yang berhubungan dengan perkara tersebut di atas, melakukan perdamaian, memberikan jawaban-jawaban, meminta keterangan-keterangan, mendengar, menyangkal, menolak atau mengajukan saksi saksi dan bukti bukti lainnya, meminta keputusan, melakukan segala tindakan –tindakan yang diperbolehkan menurut hukum atau pada pokoknya berbuat segala sesuatu yang dianggap perlu dan berguna di dalam perkara itu.

Kekuasaan ini dapat dioperkan/ dipindahkan kepada orang lain dengan hak substitutie.
                                               
                                                                                                                          Medan...........................

Yang diberi kuasa                                                                                  Yang memberi kuasa
...........................                                                                               .................................

SITA JAMINAN
Untuk menjamin hak PENGGUGAT dalam hal gugatannya dimenangkan, maka undang-undang menyediakan upaya hukum yaitu penyitaan yang merupakan tindakan persiapan untuk menjamin dapat dilaksanakannya putusan perdata.

Syah tidaknya suatu penyitaan, harus memenuhi ketentuan dalam pasal 198 HIR atau 213 Rbg yang berisi:
1. Sita harus didaftar dengan menyebut jam, hari, bulan dan tahun,
2. Petugas pelaksana Sita meminta Kepala Desa mengumumkan penyitaan itu agar diketahui oleh umum.

Akibat hukumnya (pasal 199 HIR dan 214 Rbg):
1. Terhitung sejak sita dilaksanakan, didaftar, diumumkan, maka sejak saat itu tersita tidak dapat lagi memindahkan barang tersita pada orang lain, membebankan dan menyewakannya.
2. Perjanjian yang bertentangan dengan larangan tersebut tidak dapat dijadikan dasar perlawanan dalam penyitaan.
3. Apabila pasal ini dilanggar, kepadanya dapat dikenakan tindakan pidana (pasal 231 KUH Pidana). Dan segala perjanjian dan pembebanan yang telah dilakukan oleh tersita dapat dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum.

TATA CARA PERKARA PERDATA
-         Perkara harus, didaftar terlebih dahulu. Namun, untuk didaftar, ongkos perkara yang meliputi biaya kepaniteraan, pemanggilan, pemberitahuan para pihak serta materai, pengacara harus sudah dibayar (Pasal 121 (4) HIR). Setelah perkara selesai, maka pembayaran dibebankan pada pihak yang kalah.
-         Apabila yang mengajukan perkara tersebut seorang yang tak mampu, maka harus dilampirkan surat keterangan tidak mampu dari Lurah atau Camat setempat. 
-         Hal kedua adalah penetapan hari sidang (Pasal 121 HIR), biasanya dilakukan oleh Hakim atau Ketua Sidang yang memperhitungkan jauh tidaknya letak tempat tinggal para pihak dari Pengadilan Negeri tempat bersidang.
-         Pemanggilan para pihak yang dilakukan oleh juru sita (Pasal 39 UU No.2 1986), dengan surat panggilan yang disampaikan secara langsung atau melalui kepala desanya atau ahli warisnya apabila orangnya telah meninggal (Pasal 390 HIR).
PROSES PERKARA PERDATA PENGADILAN
1. Gugatan atau tuntutan hak
Suatu gugatan dapat dianggap gugur karena PENGGUGAT tidak hadir walaupun panggilan sidang telah dilakukan sesuai pasal 121 dan 122 HIR.
2. Verstek
TERGUGAT tidak datang pada hari sidang yang ditetapkan dan tidak mengirim wakilnya membuat gugatan akan dikabulkan tampa kehadiran TERGUGAT. TERGUGAT dapat melakukan verzet/ perlawanan (pasal 129 HIR) dalam tenggang waktu 14 hari setelah pemeriksaan putusan verstek diberitahukan ke TERGUGAT. Apabila PENGGUGAT kalah dalam putusan verstek, ia dapat mengajukan banding.
3. Perdamaian
Apabila pada hari sidang yang ditetapkan kedua belah pihak hadir maka Hakim berkewajiban untuk mendamaikan mereka (pasal 130 HIR). Perdamaian itu biasanya berupa perjanjian di bawah tangan yang ditulis diatas kertas bermeterai yang disebut juga Surat Penyelesaian Perselisihan dan berlaku seperti putusan Hakim biasa.
4. Jawaban dari TERGUGAT
Dapat juga berbentuk bantahan dan eksepsi. Eksepsi adalah tuntutan batalnya gugatan berhubungan dengan pokok perkara. Misalnya eksepsi perihal tidak berkuasanya hakim, telah pernah diputusnya perkara yang bersangkutan, atau penggugat tidak mempunyai kualifikasi atau sifat untuk bertindak sebagai penggugat, eksepsi yang bersifat menunda- sampai penggugat memberi pembayaran, dan tuntutan batalnya gugatan karena ketika diajukan telah daluarsa. Apabila eksepsi dibenarkan, perkara yang bersangkutan selesai pada tingkat pertama dan apabila PENGGUGAT tidak puas, dia dapat mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi.
5. GUGAT BALIK (REKONPENSI)
TERGUGAT mengajukan GUGAT BALIK (pasal 132 dan 132 (b)).
6. PEMBUKTIAN
Memberikan dasar-dasar yang cukup kepada Hakim dalam pemeriksaan suatu perkara agar dapat memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan. Yang harus dibuktikan adalah yang dibantah oleh pihak lawan.
Alat-alat bukti:
1. Surat atau bukti tertulis (pasal 165-169 HIR; 1867-1894BW)
Akta otentik, akta di bawah tangan, dan bukan akta.
Akta otentik adalah suatu akta yang dibuat oleh atau dihadapan Pejabat yang diberi wewenang untuk itu, merupakan bukti yang lengkap antara para pihak dan para ahli warisnya dan mereka yang mendapat hak daripadanya tentang yang tercantum di dalamnya sebagai pemberitahuan belaka. Akta otentik merupakan bukti yang sempurna bagi kedua belah pihak, ahli warisnya dan orang-orang yang mendapat hak dari padanya. Akta Otentik termasuk akta yang dibuat oleh Pejabat seperti berita acara yang dibuat oleh polisi dan panitera pengganti di persidangan dan akta yang dibuat oleh para pihak.  
Akta di bawah tangan mempunyai kekuatan pembuktian sempurna seperti akta otentik kalau tanda tangan yang tercantum disitu, diakui oleh penanda- tanganan. Akta di bawah tangan adalah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para pihak tampa bantuan notaris, seperti kuitansi, perjanjian sewa-menyewa dsb.
2. Persangkaan: hanya merupakan kesimpulan yang ditarik oleh UU atau Hakin dari hal-hal yang sudah jelas terhadap hal-hal yang belum jelas. Persangkaan sangat berguna apabila dalam suatu perkara, sangat sulit diperoleh saksi-saksi yang melihat atau mengalami sendiri peristiwa yang akan dibuktikan. 
3. Sumpah: Hanya merupakan perjanjian atau pernyataan yang dikehendaki oleh para pihak, sedangkan kebenarannya     tidak terjamin.
4. Pengetahuan Hakim,
5. Keterangan Ahli.
6. Saksi. Ancaman yang melalaikannya:
                                                               i.      Dihukum membayar biaya yang telah dikeluarkan untuk memanggil saksi,
                                                             ii.      Secara paksa dibawa ke pengadilan,
                                                            iii.      Disandera
Saksi harus menghadap dan memberi keterangan (pasal 140 dan 141 HIR), ia tidak boleh menarik kesimpulan. Sebelum memberi keterangan, seorang saksi diwajibkan mengangkat sumpah menurut agama dan kepercayaannya masing-masing (pasal 147 HIR). Yang tidak dapat menjadi saksi termasuk (Pasal 145 HIR):
a.       keluarga sedarah dan semeda menurut keturunan yang lurus dari salah satu pihak (kecuali dalam keadaan pernjanjian pekerjaan),
b.      suami atau istri salah satu pihak, meskipun telah bercerai,
c.       anak-anak yang umurnya tidak diketahui dengan benar bahwa mereka sudah berumur 15 tahun,
d.      orang gila, walaupun kadang-kadang ingatannya terang.
7. Pengakuan (pasal 174-178 HIR, 1923-1928 BW).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar